dibutuhkan antusiasme kalian hwhw~
enjoy!
°~•~°
"Boleh ngobrol sebentar?"
Aku menoleh kaget saat mendengar suara dari belakang punggung. Kusimpan termos berisi air panas yang baru saja ku gunakan menyeduh kopi juga teh. Cuaca hari ini memang sedikit lebih sejuk, padahal sedang musim kemarau.
"Eum, bisa tunggu—"
"Biarin aja itu mah," suara familiar Uwa Rini terdengar. Dia datang dari arah ruang tamu bersama Anin. "Sana ngobrol."
"Eh, tapi—"
"Biar Anin aja, Teh."
Lagi-lagi omonganku disela. Aku menatap Uwa Rini dan Anin bergantian. Lalu melirik sekilas pada laki-laki kota yang kata Ayah adalah calon suamiku. Tidak ada pilihan lain. Aku menghela nafas dan mengangguk, menyanggupi ajakannya untuk mengobrol.
"Awas tumpah, Nin." Kataku memperingati Anin yang memang agak ceroboh.
"Gak bakal! Percaya aja sama Anin." Jawabnya dengan jumawa, aku menggeleng akan tingkahnya.
"Udah Teteh, ih." Uwa Rini langsung menyela, wanita dengan blouse batik bunga-bunga itu mendorong bahuku agar berbalik menghadap si laki-laki yang ternyata memperhatikan interaksi kami. "Buruan, atuh. Sana ngobrol. Ditungguin, juga, dari tadi sama si Aa."
Aku langsung mendelik mendengar panggilan Uwa Rini pada laki-laki itu. Geli sendiri.
"Maaf ya, A, si Teteh tuh emang malu-malu anaknya." Lanjut Uwa Rini, dia berkata seolah aku tidak ada. Ah, aku memang kerap disapa Teteh, padahal secara umur ada yang lebih tua dariku— anaknya Bibi Sukma, adik bungsu Ayah.
"Gak papa, Uwa." Laki-laki itu menjawab dengan sopan. Suaranya berat tapi halus. Lembut juga. "Ayo, Shafa."
Aku menggaruk hidung. Ini kenapa aku jadi merasa salah tingkah hanya karena mendengar suaranya menyebut namaku? Aneh.
"Teteh, ih, sana!" Kali ini Anin yang menegur. Dan aku langsung memimpin jalan menuju halaman belakang. Tempat yang menurutku pas untuk mengobrol. Apalagi ini adalah obrolan pertama kami. Bisa saja laki-laki itu ingin membicarakan hal-hal rahasia. Semisal jika dia mengakui sudah memiliki kekasih.
Pikiranku terlalu jauh, tidak sih?
Tapi sepertinya tidak, deh. Kebanyakan cerita perjodohan yang aku baca memang seperti itu. Alasan klise salah satu pihak menolak perjodohan pasti karena diantara mereka sudah ada yang memiliki pasangan.
Laki-laki ini juga bakal begitu tidak ya?
"Pintunya buka, ya! Jangan di tutup. Bisi aya setan."
Teguran berupa ledekan dari Uwa Rini membuatku menggerutu, apalagi saat mendengar tawa nyaring si Uwa dan Anin. Cocok sekali memang mereka itu. Padahal tak ada hubungan darah. Uwa Rini adalah kakak ipar Ayah— istri almarhum Uwa Yazid. Sedangkan Anin adalah anak sambung Bibi Hera— adik pertama Ayah.
Kami telah sampai dihalaman belakang. Halaman yang dipenuhi oleh sayur-mayur yang ditanam oleh Ibu dan dirawat oleh Ayah— maksudnya dalam pemberian pupuk. Aku mendudukkan bokongku disebuah kursi bambu licin hasil karya tangan suami baru Uwa Rini. Laki-laki itu juga ikut duduk. Kuperhatikan sepertinya dia tertarik dengan halaman hijau didepan kami.
"Disana apa?" Tanyanya sembari menunjuk sebuah lahan dekat kebun sayur. Dia terlihat menyipitkan mata, mungkin mencoba memperjelas penglihatannya yang terhalang oleh pagar bambu yang dipasang Ayah. "Kok dijaring?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo Jatuh Cinta!
ChickLit[jangan ditungguin update, pliiiis] Shafa merasa senang saat Ayahnya beberapa kali menolak secara halus jika ada yang berniat meminang dirinya- tentu setelah bertanya pendapat Shafa dulu. Shafa kira itu karena Ayahnya memang tidak ingin dirinya meni...