Jeon place

247 25 0
                                    

-JEON PLEACE-

Tidak ada yang menyenangkan di dalam istana. Entah apa yang sering dibayangkan oleh orang awam dengan kehidupan istana, kenapa mereka begitu sangat meminatinya. Dari yang kemegahan bangunannya, gemerlap isi di dalamnya, dan juga kedudukan yang sering mereka perebutkan seolah itu adalah kekuasaan mutlak yang akan membawa mereka pada kejayaan surgawi.

Tak ada yang menyenangkan, satupun, sedikitpun. Jika tidak percaya tanyakan saja pada pangeran ke dua yang tengah duduk bosan di kursi kebesarannya itu. Mendengarkan satu persatu mentrinya membacakan laporan mingguannya. Dan oh ya Tuhan... ini sudah memasuki minggu ke-4. Pangeran ke-dua itu merasa jika sampai minggu ke-5 ia masih juga duduk di kursi yang seharusnya diduduki oleh kakaknya, maka ia pastikan jika besok harinya ia pasti akan gila.

Harusnya, pangeran yang gemar memainkan alat-alat musik itu, kini sudah memakai cadarnya dan mendatangi kedai-kedai hiburan. Menjajakan alunan musiknya ditemani para penari-penari pilihannya yang pada akhirnya akan melayaninya hingga puas di atas ranjang.

"Yakkk... kapan dia akan pulang?"

Seorang asisten pangeran nampak gelagapan. Benar memang yang bertanya saat ini adalah seorang pangeran. Tapi yang pangeran maksudkan dengan kata 'Dia' itu adalah seorang Raja. Bukankah itu terlalu frontal.

"Pangeran ke-dua, apakah yang anda maksudkan adalah Raja?" Tanya pengawal itu memastikan.

"Tentu saja! Memangnya siapa lagi bodoh?!" Pangeran ke-dua terlihat geram, hingga ia pun lupa cara mengontrol intonasinya, membuat beberapa mentri menatapnya bingung.

"Mohon jaga kesopanan anda sedikit pangeran." Ucap pengawal yang juga merangkap sebagai asisten pribadi itu lirih.

Pangeran ke-dua hanya bisa mendecak kesal dan menggertakkan giginya. Ia benar-benar sudah tidak tahan dikurung hampir satu bulan di dalam istana. Pangeran ke-dua adalah pangeran yang bebas. Pangeran yang tak mengenal aturan dan tidak mau terikat dengan aturan istana. Bahkan jika boleh mimilih, maka ia akan memilih untuk menjadi warga sipil, terlahir dari keluarga biasa juga tidak apa-apa asal jangan miskin. Setidaknya jika ia menjadi warga biasa, ia akan menjadi sosok orang yang bebas menunjukkan jati dirinya, bukan pencitraan seperti sekarang ini.

Akhirnya setelah berkutat dengan laporan omong kosong para mentri yang kebanyakan hanyalah bualan, pertemuan mingguan ini pun berakhir. Dan masih dengan penutup yang sama.

"Kapan Raja akan kembali?" Mentri perdagangan bertanya, dan diangguki oleh para mentri lainnya.

Pangeran ke-dua berdiri dan menepuk-nepuk bajunya, berusaha menunjukkan wibawanya.

"Raja akan pulang setelah ia mendapatkan kemenangannya." Ucap pangeran ke-dua penuh dengan penuh kharisma yang terpancar.

"Bukankah Raja sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaan dan tanggung jawabnya." Mentri yang lain berucap dan berhasil memotong langkah pangeran ke-dua yang sudah hendak meninggalkan tempat terkutuk itu segera. Terserah dengan para mentri yang masih ingin menggibahkan Rajanya, ia tak perduli.

Namun mendengar pertanyaan yang begitu menohok, sontak wajah pangeran ke-dua mengeras, rahangnya mengetat, ia seolah tak terima dengan pertanyaan yang baru saja terlontar.

"Kau anggap aku apa di sini? Boneka kah?" Sudut bibir pangeran ke-dua berkedut. Jujur ia juga ingin tertawa ketika ia mengucapkan kata-kata barusan. Dan pangeran ke-dua juga yakin jika para bedebah di depannya ini yang hanya tahu tentang bagaimana caranya berkorupsi kini tengah menahan diri mereka untuk tidak tertawa.

Siapapun juga tahu jika pekerjaan dari pangeran ke-dua hanya bermain-main dan bersenang-senang. Dan jujur saja pertanyaan barusan terlontar bukan karena sebuah aksi protes, melainkan sebuah aksi yang hanya ingin memastikan. Jika harus memilih, mereka lebih suka jika yang memimpin istana adalah pangeran ke-dua. Pangeran yang tidak tahu apa-apa. Itu pikir mereka.

THE HIDDEN QUEEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang