Brown Monochrome : Anger

211 33 1
                                    

Selama hidupnya, Gempa hampir selalu berada di sisi Taufan, kakak kembarnya. Kakaknya yang ceria, senyuman seolah tidak pernah lepas dari wajah kakaknya itu. Terkadang ia juga bersikap kekanakan, berbeda dengan Halilintar, kakak kembarannya yang lain. Taufan sering menggodanya, bahkan sampai Gempa kesal.

Tetapi bukan berarti Gempa membenci kakaknya. Rasa tidak suka saja tidak pernah terlintas.

Taufan yang ceria dan selalu berusaha jadi tempat bersandar bagi saudara-saudaranya. Taufan yang emosional, sensitif, dan mudah terharu. Taufan yang selalu memprioritaskan orang lain.

Taufan yang... berubah. Sejak kapan ia berubah?

Gempa selalu bertanya-tanya sejak kapan tatapan mata kakaknya terlihat lelah? Bagaimana bisa ia tidak menyadarinya?

Perubahan Taufan baru disadari saat ia pulang dengan rambut berwarna biru tua. Rambutnya juga terlihat berantakan karena mulai panjang. Gempa ingat merasa kesal dan khawatir terhadap perubahan itu.

"Kakak gak kumpul sama anak-anak nakal kan?"

Gempa ingat ekspresi kakaknya saat itu. Kecewa.

Namun, Taufan tidak memberikan penjelasan lagi padanya, meninggalkan Gempa kebingungan dengan perubahan yang mendadak. Seharusnya Gempa menyusun katanya lebih baik lagi. Seharusnya... ia berusaha memahami kakaknya terlebih dahulu.

Mungkin Taufan marah padanya. Pasti Taufan marah pada Gempa. Karena lagi-lagi, Taufan meninggalkan Gempa tanpa penjelasan. Dan kali ini, Gempa tidak tahu harus mencari penjelasan dari mana.


~~~~oOo~~~~


Beraneka ucapan "turut berduka cita" disampaikan padanya. Tetapi Gempa tidak tahu lagi siapa saja yang mengucapkan itu. Matanya hanya bisa terfokus pada tubuh kakaknya yang terbalutkan kain putih.

Bukankah belakangan ini juga Taufan senang memakai syal putih? Syal itu tampak seperti sayap ketika Taufan berlari. Tetapi Gempa tahu itu bukanlah sayap yang sesungguhnya, karena Taufan terus terjatuh ke bawah tebing.

Keempat adik-adiknya yang tak kunjung berhenti menangisi Taufan, sementara sosok kakak kembarnya yang tersisa hanya terpaku meratapi sebuah tubuh yang kini terbalut kain putih itu. Sejujurnya, Gempa ingin Halilintar memeluknya. Ia juga ingin menangisi kepergian kakaknya. Akan tetapi, demi adik-adiknya, Gempa harus tahan.

Demi keempat adik mereka, Gempa dan Halilintar harus bertahan bersama. Tetapi-

"Mana Taufan?" tanya Halilintar, yang tampak jelas tidak menerima kepergian Taufan.

Tangisan Gempa pun sudah tidak bisa terbendung lagi.


~~~~oOo~~~~


"Gempa, kamu nggak istirahat?"

Gempa menoleh ke arah sumber suara. Salah satu sahabat kecilnya, Yaya, terlihat cemas.

"Nanti aja, belum capek kok," balasnya.

"Duri bilang kamu jarang makan di rumah," Yaya menambahkan.

"Aku bawa bekal kok."

"Kalau gitu, ayo makan bareng? Gopal dan yang lainnya juga lagi nunggu kok."

Pria itu menggelengkan kepalanya. "Maaf Ya, apa aku boleh sendiri dulu?"

Ia tidak berani menatap Yaya. Pasti sahabatnya itu merasa kasihan dengannya.

"...kalau gitu aku pergi dulu ya? Jangan lupa makan. Jangan sakit, Gempa..."

Blue And MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang