Hari ini pun, aku masih berduka atas kematianmu. Sosok kecilmu yang selalu ceria itu harusnya tidak pergi secepat ini bukan? Apalagi karena kamu sendiri yang memilih menyerah terhadap hidup ini. Usiamu baru menginjak 11 tahun. Tanganmu yang mungil pun masih kesusahan memegang mangkok dengan satu tangan.
Dalam hatiku selalu terucap doa untukmu. Tiap bait tulisanku selalu tertuju untukmu. Dan di pantulan cermin itu, yang ku pikirkan selalu "harusnya ini kamu".
Kita berbagi rupa yang sama, kecuali kini aku mulai mengubah beberapa penampilanku. Tahukah kamu betapa terkejutnya saudara-saudaramu? Mereka pikir aku membuat masalah lagi, padahal aku hanya lelah. Lelah dibandingkan denganmu, lelah melihat mereka mengharapkanmu kembali.
Aku rasa, harusnya aku saja yang pergi. Toh tidak akan ada yang merindukanku. Mungkin kecuali kamu. Akan tetapi, kamu punya banyak orang yang sayang di sini denganmu, berbeda denganku.
Taufan, maaf ya. Aku akan segera menjemputmu pulang kok. Tapi hari ini masih tidak bisa, maafkan aku.
Sejujurnya terkadang aku merasa bodoh karena merasa sayang pada keluargamu, padahal mereka tidak menyayangiku. Jika iya, yang sebenarnya mereka sayang adalah kamu, bukan aku.
Lagi-lagi air mataku menetes.
Aku segera mengusap air mataku. Akan heboh jika yang lain tahu aku menangis. Aku tidak ingin rahasiamu terbongkar begitu saja. Yah, meskipun sebenarnya sesak menyimpan rahasia ini sampai aku hampir membongkarnya pada kakakmu.
Teringat bayangan kakakmu yang dengan entengnya mengatakan, "Bertengkar sama teman itu normal kok. Lagipula, kamu itu cowok, jangan terlalu sensitif begitu."
Mungkin takdir berpihak padaku. Untung kan dia tidak sampai mengerti rahasiamu?
Namun, entah mengapa aku tidak bisa berhenti menangis.
Aku marah. Pada mereka yang merundung dirimu, pada keluargamu yang tidak peduli, padamu yang pergi meninggalkanku, dan pada diriku yang lemah.
Terkadang, Gempa akan bernostalgia tentang dirimu. Betapa baiknya dirimu. Bagaimana engkau dapat menciptakan rumah bagi mereka semua. Sayangnya, sekarang aku jarang pulang ke tempat yang mereka sebut 'rumah'. Tempat itu bukan 'rumah' bagiku. Itu rumah untuk Taufan, bukan Beliung.
Hari ini pun, aku berduka atas kematianmu, Fan. Tega sekali kamu meninggalkanku. Tega sekali kamu meninggalkan keluarga dan teman-teman yang menyayangimu.
Tanda-tanda itu tidak pernah muncul pada dirimu. Tidak ada luka di lengan, tidak ada bekas air mata ketika pulang. Hanya wajah yang sangat lelah. Akan tetapi, kamu adalah pembohong unggul yang mengatakan kalau kamu hanya kecapekan di sekolah.
Lalu, suatu malam seperti biasa, kamu tertidur dengan hati yang berat. Hati yang ketakutan menghadapi hari esok. Di antara doamu untuk tidak terbangun lagi, aku tidak menyangka akan terkabul di esok pagi.
Pagi itu, aku terbangun tanpamu. Malam itu, aku juga tertidur tanpamu. Dan esok pun, aku akan sendirian tanpamu.
Ironisnya, tidak ada satupun yang sadar akan kepergianmu. Aku berduka sendirian di sini.
"Taufan, kamu keterlaluan. Kenapa pergi tidak bilang-bilang? Taufan, aku takut."
Tapi kamu tidak akan pernah bisa membalasnya lagi.
Gempa terus merindukan senyumanmu. Setiap hari ia terus mengomel mengenai penampilanku yang berubah menjadi berantakan, dan setiap hari pula ia akan berusaha menata penampilanku supaya mirip denganmu.
"Begini dong kak! Kan lebih rapi, enak diliatnya!" ucapnya bangga.
Begitu pula Halilintar. Kami tidak terlalu dekat sekarang. Aku tahu dia capek mengurus kami sampai emosinya jadi mudah tersulut, lebih parah dari Blaze. Kami sering bertengkar. Dan setiap kami bertengkar, aku akan segera ke kamar dan menangis diam-diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue And Monochrome
FanfictionPria itu berduka sekian lama tentang kepergian sosok kecil yang berbagi nama dan rupa yang sama dengannya. Sosok yang disayangi oleh semuanya. Sosok yang ia sayangi. Suatu hari nanti, apakah ia akan kembali lagi di pelukan keluarganya? Atau pria itu...