Tidak dapat Halilintar katakan secara langsung kepada Taufan dan Gempa saat mereka berdua merawatnya. Ucapan terima kasih tidaklah cukup dengan perhatian dan ketulusan yang mereka berikan untuk seorang kakak lemah seperti dia.
Taufan, seorang adik yang beberapa waktu lalu mengetahui dirinya sedang sakit, kini memasang tampang masam kepada sang Kakak lantaran telah berbohong padanya.
Gempa, seorang adik yang memiliki sifat dewasa, ia berhasil berbincang-bincang dengan Taufan untuk tidak bersikap cuek seperti itu kepada kakaknya.
"Ayo, kita ke Rumah Sakit aja, demamnya Bang Hali gak turun-turun."
Namun, Halilintar selalu menolak ajakan Taufan dan Gempa. Biaya rumah sakit itu mahal untuk orang yang hanya sakit demam biasa. Ia tak mau menyusahkan adik-adiknya dengan membawanya ke Rumah Sakit.
"Aku gak apa-apa kok, Taufan, Gempa. Cuma kecapekan aja, diistirahatkan juga besok udah sembuh. Jangan ke rumah sakit, ya, biayanya mahal. Biaya perawatan Bang Boy juga belum lunas. Abang gak mau kalian kerepotan dan berujung gak sekolah demi membiayai Abang."
"Kita punya tabungan darurat, kok." Gempa masih bersikeras, ia yang merupakan saksi pertama yang mengetahui asma Kakaknya pasti ketakutan terjadi sesuatu pada Halilintar. Ia takut gejala yang dialami Halilintar sekarang bukan lagi soal asma.
"Jangan! Itu tabungan buat kalian nanti kalau butuh dana darurat untuk kuliah kalian. Jangan dipakai--"
"Dasar kepala batu." Solar menyahut dari balik pintu. Blaze, Ice, dan Duri juga ikut melihat kondisi Halilintar kian memucat.
Taufan sudah hendak menegur mereka, tetapi Halilintar menahan tangannya.
"Masih untung ada yang peduli malah disia-siakan," timpal Blaze menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Kalian berdua juga kenapa terlalu bersikukuh sama dia yang bahkan gak peduli sama kesehatannya sendiri? Menyusahkan."
"Blaze--" Taufan hendak menyergah, tetapi Gempa lebih dulu beranjak menampar Blaze dan Solar.
Halilintar terkesiap sampai bangkit dari istirahatnya. Ia dan Taufan segera memundurkan Gempa dari adik-adiknya. Seorang adik sekaligus kakak yang dianggap sangat dewasa menjadi murka adalah pemandangan pertama yang belum pernah mereka lihat dari sisi Gempa.
Blaze dan Solar tampaknya masih tertegun dengan kejutan barusan. Mata mereka melotot tajam disertai butiran air mata tertahan di pelupuknya, rahang mereka mengeras, satu tangannya terkepal erat. Kemarahan yang tertahan mereka tujukan untuk sang kakak ke-3, gejolak emosi yang meledak-ledak tak mampu mereka kerahkan kepadanya.
"Jaga mulutmu, Blaze. Kamu gak pantas ngomong begitu ke Abang Hali yang udah biayai hidupmu."
"Gempa, sudah. Hentikan," pinta Halilintar bersuara serak sesekali batuk menyulitkan ia berbicara.
"Jangan hentikan aku! Mereka sudah kelewatan, Hali."
Adik-adik memang sudah kelewatan padanya, Halilintar tahu akan hal itu, tetapi dia tidak mau merasa marah karena rasa bersalahnya terhadap Boboiboy jauh lebih besar dibandingkan dengan kemarahannya terhadap adik-adiknya. Itulah sebab ia selalu mengalah dan menerima perilaku semena-mena dari Adik-adiknya.
"Kamu juga tahu itu, tapi kenapa kamu tetap menahannya?" Dagu gempa menengadah dan rahangnya mengeras. Dua tangan yang mengepal di sampingnya pelan-pelan merenggang tatkala Halilintar itu tersenyum pasrah padanya.
Tanpa kata-kata yang terucap darinya, Gempa seolah mengetahui maksud dari ekspresi barusan. Aku tidak apa-apa.
Dia tidak baik-baik saja.
"Aku akan istirahat saja, kalian jangan bertengkar lagi," ucap Halilintar memasang wajah memohon kepada adik-adiknya.
Dengan segan mereka pun kembali ke kamarnya masing-masing, menundukkan kepala dalam rasa malu dan sungkan. Melirik sekilas kepada ke-3 kakaknya saja mereka segan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝙶𝙾𝚁𝙴𝚂𝙰𝙽 𝚃𝙸𝙽𝚃𝙰 𝙷𝙰𝙻𝙸𝙻𝙸𝙽𝚃𝙰𝚁
FanfictionDari suara hati dan pikiran, ia ciptakan ke dalam sebuah tulisan, Halilintar menuliskan segala keluh kesahnya di sana. Agar mereka semua tahu betapa ia menyayangi mereka. °°°°°° Karya ini hanyalah sebuah cerita fiktif belaka yang dibuat untuk hibur...