Ku pikir semuanya sudah jelas, tapi nyatanya kembali padaku bukanlah akhir darimu mencari perempuan lain. Layaknya nelayan, kau tebar umpan sebanyak mungkin hingga siapapun yang memakan umpan, itulah pilihanmu. Sudah bertahun-tahun lebih hubungan ini, ku kira aku yang tidak memperlihatkan kejelasan perasaan ini tapi ternyata kau penuh pertimbangan.
Pipi kananmu memerah bukti tamparan ku telah mendarat beberapa detik yang lalu. Tanpa suara ataupun gerutu, aku hanya mengeluarkan air mata. Hubungan ini memuakkan.
"Kita usai"lirihku dengan suara bergetar.
"Memang kita pernah memulai?"tanyanya dengan mata nyalang menatapku. Mata tanpa rasa bersalah.
"Tidak. Tapi akan ku katakan semua tentang kita telah usai. Kesalahan ku adalah mengenalmu dan memberikan hati padamu."
Dia terdiam. Tatapannya berubah menjadi selembut dan sehangat saat pertama kita bertemu. Aku benci tatapan itu."Kau memiliki perasaan padaku?" Lirihnya sambil meraih tanganku lembut. Aku menatapnya tidak percaya. Selama ini dia anggap aku apa?, batinku menggerutu sedang mulutku terkatup rapat. Aku menarik tanganku kasar dari tangannya. Mataku menatapnya nyalang meski berair dan memerah.
"Tidakkah kau sadari? Hanya kepada mu aku membuka diri, hanya kepada mu aku memperlihatkan sisi ku yang lemah, dan hanya kepada mu aku memberikan perhatianku, memang benar aku membatasi kita. Aku melakukannya agar perasaanku tidak jatuh sejauh-jauhnya ke dalam hubungan ini. Agar aku tidak terlalu sakit seperti saat ini."
Dia terdiam, matanya berkaca-kaca melihatku. Aku terisak menatapnya menunggu jawaban. Dia menunduk tanpa berkata sepatah katapun. Aku berbalik dan berjalan pergi.
"Aku melepaskanmu" ucapnya yang membuatku berhenti berjalan.
"Aku tau sejak awal kita tidak dapat bersama."
"Aku melepaskanmu, Sheila. Kau indah seperti bunga mawar, tapi duri mu membuatku terluka setiap kali mencoba menggenggam mu. Aku begitu pengecut tetapi aku juga takut kehilanganmu saat itu. Bertahun-tahun ku pendam karena takut kehilanganmu sebagai teman. Aku terus kembali padamu meski perempuan lain dekat denganku. Hingga akhirnya, aku pikir akan lebih baik jika salah satu dari kita mengambil langkah yang jelas, agar kita dapat terus berjalan maju. Dan kali ini berbeda, Sheila. Aku menemukan orang yang mencintai ku. Dia tidak membatasi perasaannya layaknya keraguan yang ada padamu. Aku tidak menyalahkanmu. Aku mengerti kau sulit mempercayai seorang laki-laki karena lingkungan dan masa lalu mu. Jadi, akan ku katakan bahwa kau tidak salah akan memiliki rasa keraguan itu, namun akulah yang tidak mampu untuk terus menghadapinya. Dan sekarang, layaknya yang kau katakan... kita usai. Aku tak akan kembali lagi padamu. Aku harap kau menemukan kebahagiaanmu" Jelasnya di belakangku.
Air mataku mengalir untuk setiap kalimat yang terucap darinya. Benar. Keraguan. Rasa itu selalu ada. Laksana luka dalam yang tak pernah sembuh, itu selalu ada di setiap hubunganku. Dia benar. Langkah jelas itu diperlukan. Aku menyeka air mataku, dan berbalik menatapnya.
"Ziyan, kau bahagia dengan keputusanmu?" Tanyaku lembut sambil tersenyum padanya. Dia terdiam menatapku lalu tersenyum.
"Aku akan bahagia"ucapnya.
"Maka itu cukup untukku. Maaf, jika perasaanmu padaku membuatmu sulit."
"Tidak... Itu kenangan yang indah."
"Syukurlah jika kau berpikir seperti itu."
Aku menghela nafas panjang lalu berbalik. Dia menahan tanganku. Aku menoleh menatapnya."Terima kasih dan maaf. Aku harap kau bahagia dan menemukan orang yang tepat untuk dirimu" ucapnya. Aku tersenyum padanya lalu kembali berjalan menjauh.
Air mataku jatuh sembari menjauh darinya. Aku menggigit bibirku agar tidak bersuara. Semuanya jelas sekarang. Kita usai.
- THE END of Sheila POV -

KAMU SEDANG MEMBACA
USAI
Conto(Short Story) (END) Akhirnya dia sama seperti yang lain. Tidak bisa ku percaya. Meski bertahun-tahun mengenalnya, aku tetap tidak bisa mempercayainya sepenuhnya. Tapi, hanya padanya. Hanya padanya aku membuka diriku sebenar-benarnya diriku. Aku lema...