Pesona 1

153 27 0
                                    

Kutatap angkuh seorang gadis yang tengah bersimpuh di bawah kakiku. Gadis yang tidak kukenal baik, namun wajahnya cukup familier untukku. Karena gadis ini adalah salah satu karyawan di Steak House.

Gadis berwajah ketimuran ini tengah menangis, bahunya bergetar hebat. Namun hal itu sama sekali tak membuatku merasa iba padanya. Kejam? Ya, aku memang terkenal kejam dengan apapun yang berkaitan dengan perempuan. Terutama soal hubungan yang konon bernama percintaan atau apapun sebutannya.

Aku tak percaya apa itu cinta, seperti aku yang tak mempercayai sebuah pernikahan. Aku memiliki alasan khusus untuk tak mempercayai dua hal itu.

Kembali pada gadis berhidung mancung ini. Entah mengapa dia menangis setelah kami tiba di kamar hotel yang kusewa. Dia yang menjajakan tubuhnya sendiri, namun kini berlagak seperti gadis yang ketakutan kesuciannya akan kucuri.

"Aku sudah membayarmu mahal, Jalang!" makiku dengan angkuh dan kasar. "Dua puluh juta untuk pelayan restoran sepertimu dengan bentuk tubuh yang sama sekali tidak menarik. Jadi, jangan membuatku murka!" Kali ini aku menggeram murka, hingga membuat gadis di bawahku ini berjengit. "Berdiri!" perintahku tajam.

"Ma—maaf, Pak Semeru." Gadis yang tak kuketahui namanya ini menengadahkan wajahnya menatapku. Wajah yang sejujurnya cukup menarik ini bersimbah air mata. Menatapku dengan tatapan memelas. "Ta—pi, saya benar-benar tidak bisa melakukannya. Dan saya berjanji akan mengembalikan uang Bapak."

"Bukan kamu yang membuat aturan di sini! Aku Tuanmu dan kamu adalah Budakku sekarang." Aku sedikit membungkuk untuk mencengkeram wajahnya. Gadis ini meringis kesakitan, ketika kukuku bersentuhan dengan kulit wajahnya yang putih bersih. "Jadi, lakukan apa yang kupinta sekarang, atau foto-foto naked-mu akan kuunggah ke internet. Apa itu yang kamu mau? Hm?"

Masih dalam cengkeramanku, gadis ini menganggeleng lemah. Air matanya masih terus mengalir dan kini turut membasahi pipiku. Sialan! Tanganku menjadi basah.

"Kalau begitu, lakukan saja, Pak. Tidak apa-apa foto-foto itu Bapak sebar, asalkan Bapak tidak memaksa saya melakukannya."

"Bangsat!" Kuhempaskan wajahnya begitu saja, hingga tubuh gadis Jalang ini tersungkur di lantai. "Kamu ingin bermain-main denganku, Jalang!" Kesabaranku yang semakin menipis membuatku meraih sejumput rambutnya dan kutarik dengan keras. "Kamu harus melayaniku malam ini dengan atau tanpa persetujuan kamu."

Lantas kutarik tubuhnya dan kuhempaskan dengan keras di atas ranjang hotel yang berukuran besar. Jalang ini kembali mengiba dan memohon agar aku tidak melakukannya. Dia masih saja terus menangis sembari menyeret tubuhnya menuju tepi tempat tidur.

Rasa belas kasihanku benar-benar telah sirna. Dengan santai dan menikmati ketakutannya, kulepas helai demi helai pakaian yang menutup tubuhku. Hingga menyisakan boxer brief Calvin Klein hitam. Biasanya, dari sekian perempuan yang kucicipi tubuhnya, mereka akan terpana melihat tubuhku yang dihiasi pahatan sempurna. Tetapi gadis di depanku ini sama sekali tidak terlihat tertarik dengan bentuk tubuhku.

"Pak, tolong, jangan. Saya akan lakukan apapun untuk Bapak, asalkan jangan melakukan ini. Saya mohon, Pak." Jalang ini kembali mengiba. Tubuhnya sudah meringkuk persis seperti bayi menempel pada kepala ranjang.

Aku tetap bergeming dan terus merangsek mendekatinya. Dengan kasar kutarik kakinya agar posisi gadis ini terlentang. Lantas dengan mudah kutarik rok selututnya. Detik berikutnya, aku dibuat terkejut dengan pemandangan yang kudapati pada kedua pahanya. Paha yang seharusnya putih bersih itu dipenuhi dengan lebam keunguan.

"Apa ini? Bukankah kata Mami Fara kamu virgin? Lalu ini apa? Pelangganmu yang pertama yang melakukan ini? Iya?" tanyaku murka. Jadi karena hal ini, dia menolak bermain denganku malam ini? Sialan, Jalang ini berusaha menipuku.

Gadis Jalang ini hanya menggeleng lemah yang semakin membuatku murka.

"Jawab, Bangsat!" bentakku, kembali kujambak rambutnya dengan keras agar dia semakin kesakitan dan ketakutan.

"I—ibuku yang melakukannya, Pak," jawabnya dengan suara terbata.

"Ibu?!" tanyaku setengah tak percaya. Ibu mana yang tega memukuli anak perempuannya hingga seperti ini?

"Ibu tiri saya," katanya lirih. Lantas Jalang ini beranjak duduk dan perlahan melepas pakaian atasnya.

Kembali aku dibuat terkejut dengan pemandangan yang kudapati di tubuhnya. Lebam-lebam tidak hanya ada pada kedua pahanya, namun juga terdapat di bahu, lengan atas juga punggung.

"Kenapa dia melakukan ini?" tanyaku yang duduk di hadapannya dengan suara lebih pelan. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa kasihan dengan gadis ini, meskipun aku menolak untuk mengasihaninya.

"Saya tidak tahu alasan pastinya, Pak. Tapi saat marah, Ibu memang akan memukulku."

"Marah kenapa?"

"Biasanya marah karena uang yang kuberikan tidak cukup."

"Ayahmu masih ada?"

Jalang ini mengangguk lemah. "Ayah masih ada, tapi sakit stroke. Sudah tiga tahun ini hanya berbaring di tempat tidur."

"Jadi selama ini kamu bekerja untuk membiayai mereka?" Sialan, mengapa aku menjadi bersimpatik padanya? Dan dia mengangguk. "Siapa namamu?"

"Jemima Waheed, Pak," jawabnya.

Nama yang cukup bagus, pas, sesuai dengan bentuk parasnya.

"Berapa umurmu sekarang?"

"23 tahun, Pak."

"Kamu kuliah?"

"Saya kuliah, Pak."

Pantas saja, siapa tadi namanya? Ah iya Jemima kerja mati-matian. Rupaya dia adalah tulang punggung keluarga, sekaligus untuk membiayi kuliahnya sendiri. Tapi, mengapa pula dia harus menjadi gadis pemandu lagu. Mengapa dia tidak mencari pekerjaan lain yang lebih layak?

"Dan kamu benar masih virgin?" tanyaku penasaran. Karena di zaman sekarang, kesucian seorang gadis adalah hal langka.

Jemima mengangguk pelan yang membuat rasa penasaranku semakin menggunung padanya.

"Pernah pacaran?" tanyaku lagi penasaran.

Jemima kembali menggeleng. "Saya tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan dengan laki-laki manapun, Pak. Fokus saya hanya ingin bekerja. Lagi pula, laki-laki mana yang bersedia menjalin hubungan dengan gadis seperti saya ini, Pak? Gadis miskin dari background keluarga yang berantakan."

Jemima mengatakannya dengan tersenyum, namun aku tahu, gadis ini hanya tengah mencoba menutupi kepahitan hidupnya.

Tetapi, aku tentu saja tidak peduli akan hal itu. Bukan menjadi urusanku Jemima menjadi tulang punggung keluarganya atau disiksa oleh ibu tirinya. Urusanku hanya soal uang dua puluh juta yang sudah kuberikan padanya. Aku memang tidak akan meminta kembali uang itu. Aku akan melupakannya, anggap saja aku tengah bersedekah pada gadis malang ini. Atau mungkin, aku akan meminta gantinya dalam bentuk lain.

Ah, nanti saja kupikirkan itu. Yang terpenting sekarang aku harus segera mengusirnya dari sini, sebelum aku kembali berpikir untuk menerkamnya.

Bersambung


Pesona Mantan Wanita PenghiburTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang