• Namaku Arasyaa •

423 38 6
                                    

Matahari begitu bahagia diatas sana, menebar cahayanya sangat terang untuk sebagian wilayah bumi. Beberapa orang mungkin akan mengeluh saat ini, karena teriknya matahari terlalu kuat sehingga mereka harus menunda beberapa hal. Sebagian lagi tidak akan terpengaruh dengan terik matahari, entah alasan terpaksa ataupun tidak terasa.
Varish termasuk yang terakhir. Panasnya siang itu, teriknya matahari yang memantul dari beberapa kaca mobil yang terparkir tidak ia rasakan dan hiraukan.
Langkahnya semakin lebar dan larinya semakin kencang. Entah hari ini saja, atau memang jarak area parkir dan pintu emergency rumah sakit jauh, Varish mengumpat.

"Dimana anakku?" tanya Varish sesampainya di depan pintu emergency. Security menahan tubuhnya yang hampir limbung kehilangan pijakan.
"Dimana, hah- dimana Arasyaa?" ulangnya sekali lagi

"Tuan, duduk dulu." tawar salah seorang staff rumah sakit.
Varish menggeleng dan mencengkeram lengan laki-laki itu kuat.
"Dimana anakku!?" suaranya sedikit meninggi

"Tenang sebentar, Tuan. Saya akan bantu, siapa nam-

"Varish?" panggil seseorang dari balik pintu emergency.

"Dokter Danu.. hah- itu, dD-dimana Asaa? pihak sekolah menghubungiku jika Asaa pingsan."
Varish sedikit mendorong staff yang memeganginya dan berdiri di depan Danu. Nafasnya masih tersengal, peluh keringat membanjiri wajah dan membuat rambut rapinya lepek.

"Arasyaa masih ditangani oleh rekanku. Sebentar lagi mungkin selesai. Kita tunggu di kamar inapnya, ya." tawar Danu pelan.

Varish menggeleng,
"Aku ingin bertemu Asaa."

"Di dalam banyak pasien darurat, kamu akan diusir jika nekat menemani putramu."

"Asaa sendirian! Aku har-

"Saya menemuinya sebelum kemari. Putramu sudah tertidur karena pengaruh obat. Percaya padaku tidak terjadi apa-apa. Sebentar lagi Asaa akan dipindahkan ke ruang inapnya. Kita tunggu disana saja. Ayo. Aku tidak menerima penolakan." ucap Danu datar.

Mau tidak mau, Varish berjalan mengikuti Danu menuju pintu depan rumah sakit. Langkahnya diseret, tenaganya terkuras banyak, hatinya tak tenang sebelum melihat kondisi Sang anak dengan mata kepalanya sendiri. Ponsel yang berada di saku celananya terus bergetar, sedikit banyak mengganggu konsentrasi.
Sembari berjalan menuju kamar rawat, Varish merogoh sakunya dan melihat siapa kiranya yang terus menghubunginya.

Urusan kantor.

Varish menekan tombol power pada ponselnya sedikit lama sampai layar persegi itu berwarna hitam. Varish menonaktifian ponselnya.

"Alexis." panggil Danu sesampainya di lorong ruang rawat yang terasa sangat familiar.
Varish mendongak mendengar dokter yang bertambah tua itu menyebut nama sahabatnya.
"Kenapa disini?" tanya Varish bingung

Alexis menyesap kopinya sebentar,
"Karena aku mau disini" jawabnya enteng

Varish memilih duduk di samping Alexis, tubuhnya lelah setelah dipaksa berlari dengan degub jantung yang kencang.
"Sekolah Asaa menelponmu?" tanya Varish

"Hem." jawaban singkat Alexis tidak segera membuat rasa penasaran Varish berkurang.
"Apasih?" tanya Alexis risih ketika Varish masih menatapnya meminta alasan.

"Varish, minum dulu." Danu menyodorkan gelas kertas berisi air mineral kepada Varish. Entah kapan Sang dokter mengambilnya namun Varish cukup terbantu.

"Jadi, bagaimana keadaan Asaa?" tanya Alexis kepada Danu.

"Terakhir aku cek sebelum kemari, saturasi oksigennya sudah naik. Tidak ada indikasi demam, mungkin hanya kelelahan. Kita tunggu diagnosa akhir dokter yang menangani nanti." Danu berkata jujur dan memang tidak ada gunanya berbohong atau mengarang cerita.

ArasyaaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang