Ibu…
Aroma musim semi, menguar indah dalam balutan angin semilir, menerbangkan aroma bunga-bunga dari kebun kecil penuh warna. Seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian, di tangannya tergenggam sebatang kayu yang ujungnya diberi jaring untuk menangkap kupu-kupu pada musim semi. Tawa ceria sesekali terdengar, meski hanya tinggal berdua, namun sepasang ibu dan anak itu tampak begitu bahagia menikmati setiap waktu.
“Nu, sudah cukup, biarkan kupu-kupunya pergi.” Ucap seorang wanita yang baru selesai memupuk akar-akar bunga mawar kesayangannya, ia duduk duduk untuk beristirahat pada sebatang kayu sambil menekuk kaki, menunggu sang anak menyambut panggilannya.
“Tapi ibu, kupu-kupunya sangat cantik, Nu ingin memilikinya.”
“Nunew, tak semua hal yang indah harus kau miliki. Tak semua hal juga di dunia ini yang kau sukai harus menjadi milikmu, terkadang, hanya membiarkannya tumbuh dengan cantik pun akan memberimu kebahagiaan.”
Nunew kecil mengerjap, melirik pada kupu-kupu yang hinggap pada salah satu tangkai mawar, tapi sebab ucapan sang ibu, ia urung mengambil kesempatan itu untuk menangkapnya. Nunew lebih memilih mengayun langkah mendekat ke arah ibunya dan duduk dalam pangkuan. “Bagaimana Nu bisa bahagia kalau Nu sangat menginginkannya ibu?”
Pihak lain tersenyum, mengusap pucuk kepala anak kesayangannya dengan penuh sayang. “Lihatlah, kupu-kupu itu senang hidup bebas, bisa terbang kemana pun ia suka. Jika Nu menangkapnya, ia akan kehilangan kebebasan, jika kebebasan Nu dibatasi apa Nu bahagia?”
Nunew menggeleng pelan, “tidak, Nu juga suka bebas.”
Ibunya terkekeh, “anak pintar. Nu adalah anak kesayangan ibu yang patuh!” Tukasnya sambil menciumi pipi gembil sang anak hingga sang empu terkekeh kegelian.
“Nu akan selalu jadi anak kesayangan ibu!”
“Kalau begitu, boleh ibu meminta sesuatu pada Nu?”
Nunew mengangguk, matanya mengerjap lucu sambil menunggu sang ibu mengutarakan permintaan.
Wanita itu kembali mengelus kepala sang anak, raut wajah itu berubah sendu seolah permintaan yang akan ia sampaikan adalah permintaan terakhirnya. “Nu harus janji pada ibu, jika nanti ibu tak ada, jangan pernah berbuat jahat pada orang lain. Dan Nu harus menjaga sesuatu yang sangat berharga, jangan biarkan siapapun menyentuhmu kecuali orang yang kau cintai suatu saat nanti, apa Nu paham?”
Nunew agak bingung, ia masih terlalu belia untuk mengerti, tapi karena itu permintaan sang ibu, ia mengangguk dengan asal. Selama yang Nunew ingat, mereka hanya tinggal berdua tanpa figur seorang ayah, sejak dini ibunya mengajari banyak hal tentang pemahaman dan dunia yang Nunew rasa terlalu luas untuk ia jelajahi. Tapi ada satu hal yang selalu Nunew tak suka, sang ibu selalu berkata ‘kalau nanti ibu tiada’. Nunew benci kata itu seolah ibunya akan segera pergi jauh.
“Aku sayang ibu.” Ucapnya sambil memeluk tubuh pihak lain, Nunew resah, tapi ia enggan bertanya lebih banyak jadi ia hanya ingin memeluk erat tubuh itu sebanyak yang ia bisa.
Lama Nunew menunggu sang ibu menjawab, jangankan menjawab, bahkan tubuh kecilnya tak merasakan rengkuhan lain. Jadi sebab penasaran ia melepaskan pelukan untuk melihat wajah sang ibu, tapi alih-alih merasa lebih tenang, Nunew justru terkejut saat mendapati tubuh ibunya telah menuh dengan darah dan sebuah tombak menembus perutnya. “IBUUUUU!!” Jeritnya sekuat tenaga.
“L-lari…Nu, lari…” ucap sang ibu dengan lirih saat tubuhnya terjatuh tertelungkup ditanah, meninggalkan Nunew yang berdiri mematung, wajahnya pucat pasi dan tak bisa bergerak sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teratai dalam kubangan lumpur
Fiksi PenggemarSetangkai teratai tumbuh dalam kubangan lumpur terbengkalai, jauh dari taman bunga layaknya terisolir dari keindahan dunia. Dalam sunyi, dalam sepinya kesendirian, tanpa ada yang menyadari kecantikan abadinya. Lama ia hidup dalam gelap kesendirian...