Sebermula

158 37 11
                                        

Mataku terpejam, tertidur lelap. Tak sadar terlelap dalam tidur saat menonton serial animasi cartoon network yang berjudul "The Amazing World of Gumball" ditelevisi, seorang berbadan berisi menghadap padaku, ia menyodorkan tangannya kemudian mengangkatku, tergendong, dipindahkan ke kamar tidur kecil oleh Papaku tersayang.

Aku sayang sekali kepada Mama dan Papaku, Aku berharap mereka tetap bersamaku, dan bersama satu Kakak perempuanku selamanya—Beyina diajarkan menulis, membaca, menggambar oleh Papa dan Mama.

Namun, aku benci ketika Papa membentak-bentakku hingga aku menangis tak karuan. Kenyataannya hanya karena masalah sepele, bahkan setiap aku melakukan kesalahan sedikitpun, Papa spontan berbicara dengan nada tinggi. Ketakutan menghantui perasaanku, menahan diri untuk tidak menangis di depannya. Papa amat tak suka mendengar suara tangisan, terlebih suara tangisan anak kandungnya sendiri. Beliau tidak suka dengan anak cengeng sepertiku, nyatanya aku tak bisa menahan tangisan itu lebih lama lagi, aku menangis sekencang-kencangnya.

”Nangis terus!”

”Berisik tau, dasar cengeng!”

”Kamu tuh kerjaannya cuma bisa nangis, nangis aja terus!! Emangnya bisa selesai sama tangisanmu itu!?”

”Berhenti nangisnya, atau Papa pukul?!” Diraihnya tangan Beyina.

Lantas matanya berkaca-kaca, menatap sang ayah. ”Sakit Pa... tolong lepaskan tanganku.”

”Oh, sudah berani melawan kamu? Berani sekali ya, menjawab perkataanku. Dasar anak bodoh!” sergah Pria tua, telapaknya terjun tepat ke arah pipi anak kecil bersurai pendek sebahu.

Punggung Ayah lambat-laun lenyap dari hadapannya, setelah aksi itu rampung. ”Udah Papa bilang diam, masih aja. ”

Pipinya sedikit lebam karena tamparan yang beliau beri, Beyina memegang pipinya sembari tersedu, lengan sebelah kanan memungut sebuah bantal yang ada di katil. Lalu Beyi membubuh bantal itu tepat di depan tampang, seolah wajahnya tersumpal bantal—rintihan tetap pecah di dalam bantal sofa abu-abu, setidaknya bahana tangisannya tak terdengar jelas lagi oleh Papa.

Selang beberapa menit, kedua tunggainya turun dari sofa, memaksa untuk bergerak ke bilik tidur.

Suara napas yang berat. Beyina menghembuskan napasnya, ”Huft...”

”Sejujurnya aku lelah seperti ini, memangnya menangis itu hal yang tidak baik ya?” benaknya saat sampai di ruang tidurnya.

Anak kecil berambut pendek menaiki ranjang tidur berwarna merah muda, untuk meredakan semua perkataan yang terus berulang di benaknya. Beyina kini berbaring di atas tilam empuk.

”Kenapa Papa memperlakukanku dengan cara yang kasar? Apa mungkin Papa benar-benar tidak menyayangiku?” celetuk Beyina.

Beyina memukul kepalanya, ”Ah, mung ... mungkin aku memang tidak pantas dicintai oleh siapapun,” batinnya.

Ia rujuk tersedu, namun kali ini tak mengeluarkan suara, ia sengaja menangis tanpa bunyi sedikit pun sembari memeluk kucingnya—Casper.

Hal seperti itulah yang terus berulang-ulang pada anak sekecil Beyina Arisha. Semakin Beyina beranjak dewasa, hal-hal itu tetap membekas pada memorinya. Meskipun kejadiannya sudah usang, namun tidak akan bisa enyah begitu saja di  benaknya, selebihnya tak akan hilang hingga mati.


***

Susu vanilla hangat, baru saja diseduh oleh Ibunda. Wanginya harum sekali, rasanya ingin cepat-cepat meneguk susu vanilla yang terisi penuh di cangkir putih dengan gambar stroberi di tengah. Terlihat masih berasap karena memang baru diseduh oleh air panas,  uap bermunculan dari permukaannya, kemudian perlahan naik hingga sirna kembali.

Tenggelam [on gOing!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang