1

1.7K 92 38
                                    

Aku Hatake Kakashi, umur ku 38 tahun. Menurut istriku, aku adalah suami yang sempurna. Aku bisa mengajar, memasak, membersihkan rumah, mencuci baju, dan mengurus anak. Ya, harus ku akui aku bisa melakukan itu semua karena aku terbiasa hidup sendiri. Tapi kata sempurna terlalu berlebihan, tentu saja tidak ada manusia yang sempurna.

Nohara Rin adalah wanita yang telah ku jadikan istri selama 5 tahun. Dia istri yang cakap dalam mengurus rumah dan juga mengurus diriku. Walaupun baru menikah selama 5 tahun tapi kami sudah berhubungan selama 10 tahun.

Lalu Hani adalah anak perempuan kami yang sudah berumur 4 tahun. Nama Hani diambil kata honey yang berarti madu. Ya, karena Hani dilahirkan dengan senyum semanis madu. Anak itu memiliki rambut seperti ibunya tetapi beberapa orang mengatakan wajahnya persis dengan wajah ku. Anakku adalah gadis kecil yang ceria dan cerdas. Ia memiliki sejuta energi untuk bermain dan juga sejuta pertanyaan. Beruntung, dulunya istriku adalah seorang guru jadi dia dia juga memiliki sejuta jawaban untuk Hani.

"Ahhh..."

Aku menahan erangan ku sambil tanganku terus mengocok sesuatu dibawah sana.

"Kakashi-kun? Udah selesai mandi?"

"Sebentar, masih buang air." Jawab ku berusaha membuat suaraku terdengar normal.

Lalu ku nyalakan keran air sehingga membuat bunyi gemericik yang cukup kencang.

"Akhh hahh!!"

Cairan putih kental itu ku tembakkan ke lubang air di lantai toilet. Lalu segera ku siram untuk menghilangkan jejak.

Kebiasaan ini kembali lagi setelah pernikahan ku memasuki tahun ke lima. Pernikahan ini sudah tidak seperti di tahun-tahun pertama. Kini, semuanya berjalan seolah sudah selayaknya seperti ini. Tidak ada yang spesial. Bahkan hubungan ku dengan istriku sudah tidak sepanas sebelum memiliki Hani, kini kami menjadikan Hani sebagai pusat keharmonisan keluarga, bukan lagi seks panas yang kami idamkan selama pacaran. Terlebih lagi saat ini istriku sedang mengandung anak kedua kami. Sudah 7 bulan sehingga perut itu menjadi besar dan berat. Jadi aku merasa kasihan jika harus memaksakan nafsu ku padanya yang sedang hamil besar dan juga kelelahan mengurus Hani.

"Hani belum bangun?"

"Belum." Istri ku sedang berada di dapur, perutnya besar dan tangannya sibuk memotong sayuran.

Aku segera mengambil alih pisau itu agar ia tidak perlu berdiri terlalu lama. Beberapa bulan ini, mengeluhkan kakinya yang pegal dan bengkak.

"Mau dimasak apa?"

"Sup daging sapi." Katanya lalu aku mengangguk. Aku harus segera menyelesaikan ini karena aku harus segera berangkat untuk mengajar.

"Aku rasa kita perlu membayar jasa helper, aku tidak mau melihat mu harus bekerja keras seperti ini."

"Iya sayang, aku terserah pada mu saja. Tapi ingat, semua itu untuk meringankan pekerjaan mu. Bukan aku, aku tidak masalah dengan ini."

Aku memang kelelahan karena harus bekerja dan mengurus rumah tapi tidak tega rasanya melihat istri ku bekerja terlalu keras dengan beban perut sebesar itu.

Aku memasukkan semua jenis sayuran ke dalam sup mendidih yang berisi potongan daging, tidak lupa juga menambahkan bumbu untuk memberi rasa. Lalu aku mencuci piring kotor dan membuang sampah sisa sayur.

"Aku harus segera berangkat karena ada rapat. Nanti makan yang banyak sama Hani ya."

"Iya. Hati hati di jalan ya."

Aku mengecup keningnya dan mengusap perut besarnya.

"Jaga mama ya jagoan." Kata ku lagi lalu segera berangkat. Ya, anak kedua kami berjenis kelamin laki-laki. Persis seperti keinginan kami, memiliki sepasang anak laki laki dan perempuam lalu berencana untuk melakukan sterilisasi.

The Bad TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang