Siswa-siswi yang ikut angkot jemputan Aiku mulai berkurang. Satu per satu dari mereka turun, pulang ke rumah. Kegiatan sekolah selesai, waktunya ngabuburit bersama keluarga dan teman-teman tercinta. Meski ini terlalu awal untuk ngabuburit sih, karena baru menjelang adzan Ashar, bukan menjelang adzan Maghrib.
Ternyata, anak-anak itu berada di perumahan yang sama dengan Aiku, hanya berbeda bloknya. Jadi selama ini Aiku menjemput mereka sekalian pulang.
"Lah iya, kok ngejemput doang, Bang? Gak sekalian aja anter-jemput?" Lagi-lagi Sae mengajukan pertanyaan.
"Kalo pagi, biasanya pake bus sekolah."
Usai percakapan, Sae melirik ke kursi penumpang. Di belakang sana, tersisa seorang siswa, duduk di pinggir, pojok, menatap jalanan yang tampak dari jendela belakang. Anak lelaki berponi panjang itu pendiam sekali, bahkan saat angkot masih penuh dengan teman-temannya, ia hanya diam dan menyimak. Bahkan saat teman-temannya mengajak bicara, ia hanya menjawab dengan gelengan dan anggukan.
Tatap Sae pada anak itu terputus saat Aiku berseru, "Ikki! Udah sampe, nih!" Aiku memarkirkan angkot di depan sebuah rumah dua lantai. Rumah ini termasuk kategori besar, di antara rumah-rumah lain.
Oalah, orang kaya. Sae membatin sambil mengembuskan napas.
Ikki turun dari angkot sambil melirik Aiku sekilas, mengangguk pelan. Agaknya itu caranya mengucapkan terima kasih. Duh, Sae jadi penasaran sekarang, anak ini memang pemalu atau bisu. Namun, belum sempat Sae berasumsi yang aneh-aneh, tindakan Aiku yang ikut turun dari angkot membuat Sae bertanya-tanya.
"Lah, ngapain, Bang?"
"Nemenin Ikki," balas Aiku, "yok, kamu juga turunlah. Udah mau Ashar juga, nih. Kita jalan ke masjid komplek."
Meski masih bertanya-tanya dengan jawaban pertama Aiku, tetapi Sae tetap turun. Karena benar, sebentar lagi waktunya shalat Ashar.
"Ikki mau taruh tas dulu? Oh, langsung aja ke masjid? Okee!" Aiku balik kanan, memimpin jalan, Ikki pun mengekori, dan Sae mengekori Ikki.
Entah, Sae merasa canggung kalau mesti berjalan bersisian dengan bocah itu. Sae selalu merasa tidak bisa menghadapi anak kecil. Dulu saja, butuh waktu yang lama bagi Sae untuk tidak canggung dengan adiknya sendiri.
Ah iya, apa yang sedang adiknya lakukan saat ini, ya? Sae harap, Rin tengah bersenang-senang dengan Yoichi dan Meguru saat ini. Semoga sang ibu juga baik-baik saja, tetap sehat dan semangat memasak seperti biasa.
[][][]
"Rin! Yoichi! Kadieu! Lihat nih, kucingnya lucu pisan euy!" Meguru menarik-narik Yoichi yang paling dekat dengannya, membuat Yoichi mau tidak mau terseret. "Ih, kita bawa pulang, yuk!" usul Meguru, disusul pekikan yang didasari rasa gemas.
"Kasihan atuh kalo dibawa pulang mah!" tolak Yoichi.
"Lebih kasihan kalau kita tinggal, Yoichi!" balas Meguru tak mau kalah.
"Guys ... udah yuk? Itu Kak Kenyu udah selesai nanya-nanya ke orang sekitar, kita harus lanjut jalan lagi-- hatsyii!" Rin, menyipitkan mata, mengelap hidungnya dengan lengan baju. "Duh ...."
Yoichi langsung menaruh atensinya pada si Itoshi bungsu. "Kamu gak apa-apa, Rin? Kebanyakan kena debu sama asep knalpot, ya?"
Rin menggeleng, sebagai tanda kalau ia baik-baik saja. "Dari tadi oke, kok. Ini aja tiba-tiba."
Meguru ikut menoleh, tetapi tangannya masih sibuk mengelus kepala si kucing dengan gemas. "Jangan-jangan ada yang ghibahin kamu, Rin!"
"Mitos, ah."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗟𝗔𝗡𝗚𝗞𝗔𝗛 𝗛𝗜𝗗𝗨𝗣 𝗜𝗧𝗢𝗦𝗛𝗜 𝗦𝗔𝗘: 𝗠𝗘𝗡𝗖𝗔𝗥𝗜 𝗔𝗣𝗔?
FanfictionSae kabur, berlari sejauh yang ia bisa. Hendak bersembunyi dari dunia yang menjatuhkannya ke titik terendah. Ini tentang si sulung, Itoshi Sae, yang pergi ke kota sana, entah untuk mencari apa. ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ Blue Lock ©Muneyuki Kaneshir...