Sobat Lama

25 3 3
                                    

"Kumaha ini? Kabuju azan Maghrib ...." Meguru menoleh ke sana-kemari, tetapi netranya tidak juga menangkap masjid.

Yoichi yang seharian ini terus-menerus membalas setiap kata yang Meguru katakan, sudah tidak memiliki tenaga untuk menjawab. Pun sama dengan Rin, apalagi anak ini, ia ketambahan stres karena sang kakak tidak juga ketemu. Kedua taruna itu duduk di bangku, meluruskan kaki. Sementara Kenyu fokus memperhatikan ponsel, mencari masjid terdekat agar mereka bisa berbuka sekaligus shalat dan istirahat.

Memang hanya Meguru yang tetap berdiri tegak, baterainya masih penuh, meski seharian ini terus berjalan dan panas-panasan di jalan. Entahlah ia memang sudah biasa atau murni kelebihan energi.

Meguru menoleh sekilas pada ketiga teman perjalanannya, kemudian kembali menatap sekitar, mencoba mencari sesuatu yang bisa mencairkan suasana. Kala kepalanya mengarah ke barat, netra Meguru melebar. Ia kembali menoleh pada ketiga taruna lunglai di belakang, dengan senyum cerah dan lebar.

"Yoichi, Yoichi! Rin! Kak Kenyu! Kadieu, cepet!" Jemarinya menunjuk ke arah barat, masih dengan wajah berseri-seri. "Ih, geulis pisan! Kalian kudu liat!"

Kenyu yang pertama bereaksi, menoleh ke arah yang ditunjuk Meguru, disusul Rin dan Yoichi. Mereka lelah, tetapi melihat wajah girang Meguru, ketiganya jadi penasaran, memangnya ada apa di sana?

Oranye merajai langit, dengan gradasi kuning terang, dan matahari menjadi pusatnya. Senja, salah satu dari sekian banyak hal indah yang Allah ciptakan untuk manusia. Warna cerah nan indah, beserta rasa hangat matahari yang membelai wajah dengan lembut, seluruh manusia harusnya setuju, kalau senja itu hadiah paling mewah, setelah seharian sudah lelah.

Lelah, frustrasi, kecemasan, untuk sementara, semua perasaan menyesakkan itu hirap. Keempat taruna itu diam, menatapi langit yang tengah memamerkan keindahannya kala sore.

[][][]

Di bawah langit senja yang sama, ada seseorang yang tak bisa dan tak sempat memperhatikan keindahan di atas kepalanya. Sae, ia berjalan membelakangi matahari, dan terus memacu kaki agar bergegas. Meski terkesan mustahil, Sae ingin sampai sekolah sebelum azan Maghrib berkumandang.

Iya, niat awalnya begitu. Namun, nyatanya Sae tidak sekuat itu. Ingat, taruna ini hanya sahur kurma dan segelas air, sudah begitu seharian ini ia dijemur panas matahari. Energi Sae sudah tinggal sedikit, langkahnya makin melambat. Padahal dulu, ia bisa saja menjelajah seharian mengelilingi desa, dan pulang tetap dengan kondisi segar tanpa merasa lelah. Apalah daya, semenjak fokus sekolah, belajar, Sae mana sempat olahraga.

Tidak cukup hanya dengan badan lemas, kepala Sae mulai terasa berputar. Terang saja, taruna ini kurang minum saat sahur tadi. Sae menekan puncak kepalanya perlahan, berharap aksinya dapat mengurangi efek pusing. Bukannya membaik, pandangan Sae malah mulai kabur, ia kesulitan menentukan langkah sendiri. Sampai pada satu titik, Sae rasa ia akan ambruk.

"Mas! Astaghfirullah ... Mas gak apa-apa? Masih bisa berdiri?" Suara panik itu membawa Sae kembali pada kenyataan. Sae mengerjap, mengangkat kepala.

Sae berusaha menegakkan badan lagi, menatap orang yang menolongnya. "Maaf merepotkan .... Saya gak apa-apa."

Pemuda manis yang menolong Sae mengembuskan napas lega. Meski wajah Sae masih pucat, tetapi ia masih sanggup berdiri. "Mas, duduk dulu aja di dalem. Sebentar lagi juga udah waktu berbuka," ujar pemuda itu.

Sae mengikuti arah pandang pemuda itu, baru sadar kalau ia berada di depan masjid. Tidak butuh waktu lama bagi Sae untuk memutuskan, ia mengangguk pelan, memilih untuk istirahat dulu sampai waktu berbuka. Sae mengekor saat pemuda manis itu menuju pelataran masjid.

𝗟𝗔𝗡𝗚𝗞𝗔𝗛 𝗛𝗜𝗗𝗨𝗣 𝗜𝗧𝗢𝗦𝗛𝗜 𝗦𝗔𝗘: 𝗠𝗘𝗡𝗖𝗔𝗥𝗜 𝗔𝗣𝗔?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang