Isi Amunisi

17 4 2
                                    

Seusai tahajud, Sae menapak keluar pintu depan. Kulitnya segera diserbu angin pagi, menusuk, tetapi Sae biarkan, udara dingin ini salah satu yang ia rindukan dari desa. Meski sudah terlewat beberapa hari di sini, Sae masih tak henti mengenang di kala sendiri.

Dari arah masjid, Sae bisa dengar suara ribut percakapan, dan lain sebagainya. Wajar saja, hari ini akan dilaksanakan shalat Id, para pengurus masjid pasti sudah sibuk sejak dini hari begini.

"Bengong aja terus, hati-hati kesurupan." Kekehan mengejek serta tepukan di bahu menyadarkan Sae. Kenyu, dengan ransel sudah tersampir di bahu. Ia mengenakan gamis putih, tampak sudah siap shalat Id.

Sae memutar badan, menaikkan alis. "Lu balik?" tanya Sae, antara kaget dan heran.

"Iyalah. Gua juga mau lebaran sama keluarga, emang lu doang?" Kenyu duduk di anak tangga, memakai sepatu. "Tante sama Rin masih tidur, gua titip salam aja deh, ya." Selesai memakai sepatu, Kenyu kembali bangkit, tersenyum.

"Aman, dah. Hati-hati di jalan, Ken."

Kenyu mengangguk. Ia menepuk pundak Sae lagi, kali ini beberapa kali, seperti memberi semangat. "Isi amunisi dulu mumpung masih di sini. Biar lu semangat belajar lagi."

Meski sedari kemarin Kenyu kerap mengejek Sae, sebagai bentuk rasa sebal karena kaburnya Sae merepotkannya (juga yang lain), tetapi jauh dalam hati, Kenyu juga mengkhawatirkan sahabatnya. Bagaimanapun, apa-apa saja yang Sae rasakan selama ini, Kenyu yang paling paham, karena itu ia selalu berusaha membantu. Sae pun tahu itu, betapa Kenyu peduli padanya.

Sae balas tersenyum. "Iya, iya, lu juga."

[][][]

Shalat Id selesai, ditandai dengan lautan manusia. Sae mengikuti arus warga yang berjalan menuju rumah masing-masing. Berbeda dengan Sae, ia menuju rumah Ryusei. Sesuai kesepakatan kemarin, mereka akan lebaran di rumah Ryusei, rumah paling luas di antara mereka, tak lupa pemandangan sawah yang memanjakan mata.

Ngomong-ngomong, Sae sendirian saat ini. Rin, Yoichi, dan Meguru berangkat lebih telat, apalagi Ryusei, anak itu mungkin di saf paling belakang. Duh, tidak di kota, tidak di desa, Sae macam anak hilang, untung kali ini ia betul-betul hafal jalan.

Setelah bebas dari kerumunan, jarak pandang Sae pun lebih luas. Netranya menangkap sosok tua yang tengah berdiri di pinggiran sawah. Wajahnya memang menunjukkan bahwa usianya sudah lanjut, tetapi postur tubuhnya tetap tegap. Dan, meski sudah banyak keriput yang menghiasi wajah, serta warna putih mengubah rambutnya yang dahulu hitam, Sae ingat betul siapa bapak tua ini.

"Ustadz Ego ...." Sae menatap tak percaya guru masa kecilnya itu. Sudah lama sekali tidak bersua, dan di luar perubahan fisik disebabkan usia, Ustadz Ego masih sama.

Tak ada senyum, hanya manik legamnya yang senantiasa dalam dan lembut, menyapa. "Sae ... assalamu'alaikum. Apa kabar?" Suara nan dalam itu, juga masih sama.

Detik itu juga, mata Sae memanas. Kepalanya kembali memutar hari-hari lalu, di mana yang Sae ingat, selalu nasihat-nasihat dari Ustadz Ego. Segala yang Ustadz Ego katakan dahulu, adalah tamparan terkeras bagi Sae.

"Wa'alaikumussalam ...." Suara Sae bergetar, menjawab pelan. "Alhamdulillah, saya baik. Ustadz sendiri, apa kabar?"

"Alhamdulillah, saya juga merasa sehat kalau melihat orang dalam kondisi sehat," balas Ustadz Ego, "saya gak tahu kamu sudah pulang. Kamu baru sampai kemarin?"

"Udah dari beberapa hari yang lalu, Ustadz." Sae menatap sang guru lamat-lamat, ia pun menyadari sesuatu. "Saya juga gak melihat Ustadz sama sekali dari kemarin."

"Saya memang baru sampai ke sini semalam. Saat kamu datang itu, mungkin saya sudah pergi keluar kota. Istri saya meninggal, dan keluarganya meminta agar dia dimakamkan di kampung halamannya." Tidak ada raut sedih pada wajah Ustadz Ego. Netranya tampak menerawang, dengan sorot penuh penerimaan. "Memang sudah waktunya. Saya bersyukur, setidaknya dia pergi tidak dalam kondisi sakit."

𝗟𝗔𝗡𝗚𝗞𝗔𝗛 𝗛𝗜𝗗𝗨𝗣 𝗜𝗧𝗢𝗦𝗛𝗜 𝗦𝗔𝗘: 𝗠𝗘𝗡𝗖𝗔𝗥𝗜 𝗔𝗣𝗔?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang