Prolog~

494 59 26
                                    

~Happy Reading~

***

Suara petir menggelegar memekakan telinga sampai membuat beberapa orang yang kebetulan sedang di luar rumah secara reflek menutup telinga atau sekedar menundukkan kepala. Langit begitu gelap karena awan mendung yang tebal disertai hujan deras yang sudah tumpah sejak lima belas menit yang lalu.

Sepasang kaki kecil berbalut sepatu cokelat itu terus berjalan menyusuri jajaran ruko yang mulai tutup karena cuaca sangat buruk. Wajahnya menampakkan takut serta bingung sampai kepalanya menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat apakah jalan yang ia lalui sudah benar atau tidak.

Tangan kecilnya menggenggam erat kantong plastik berisi beberapa tablet obat yang baru saja ia beli dari sebuab apotek untuk kakaknya yang tengah demam. Namun, karena apotek di dekat rumahnya tutup, ia berjalan terlalu jauh untuk menemukan apotek lainnya yang juga hampir saja tutup jika ia tidak berjalan lebih cepat.

Lalu, langkahnya berhenti ketika sampai di sebuah perempatan jalan. Manik matanya kian bergetar beriringan dengan rasa takut yang membuncah. Ia benar-benar tidak ingat jalan mana yang tadi ia lewati ketika pertama kali pergi.

Apa yang bisa diingat seorang anak berusia tiga tahun? Jalanan ini terlalu banyak belokan dan juga ruko serupa. Bahkan, orang dewasa saja bisa terkecoh jika tidak memperhatikan setiap nama ruko dan marka jalan yang ada.

"Kakak..." lirihan kecil itu lolos dari bibir mungilnya. Mencengkram lebih erat kantong plastik di tangannya sembari terus mencoba mengingat jalan yang harus ia lewati agar tidak semakin tersesat.

Hujan kian deras beriringan dengan gelegar petir yang saling bersahutan. Sekarang, bukan lagi itu yang membuat tubuh kecilnya bergetar. Namun, bayangan wajah sang kakak yang terbaring di tempat tidur dan demam tinggi. Kakaknya sendirian di rumah, ia harus segera kembali untuk memberikan obat itu dan membuat kakaknya sembuh.

Kembali berhenti, ia merasa salah jalan. Pasalnya, ia ingat jika sebelumnya tidak melewati sebuah kafe cokelat yang kini masih memancarkan lampu terang. Bagaimana ini? Tubuhnya semakin gemetar ketakutan.

Ada sepasang suami istri yang tengah duduk di dalam kafe dan berbincang ringan menunggu hujan reda. Atensi wanita itu tertarik pada sosok anak kecil yang berdiri mematung tepat di depan jendela kafe sembari menenteng kantong plastik. Jiwa keibuannya seakan memberikan sinyal untuk mendekat dan membawa anak itu masuk ke dalam, karena cuaca di luar sedang benar-benar buruk.

"Sebentar," ucapnya pada sang suami yang akhirnya mengalihkan tatap pada objek yang menjadi pusat perhatian istrinya.

Wanita itu berjalan cepat menghampiri anak kecil itu. Merasa sangat iba melihatnya setengan basah karena terpaan hujan. "Hei, kau sedang apa di sini?" tanya wanita itu dengan suara lembut.

Anak kecil itu menggeleng. Tidak biasa bicara dengan orang asing karena teringat pesan kakaknya untuk tidak berinteraksi dengan orang tak dikenal.

"Ayo masuk dulu, kau bisa sakit jika di luar seperti ini," ajaknya. Tangannya meraih lengan mungil anak itu yang dalam sekejap membuatnya tertegun karena tubuh anak itu bergetar.

Satu hela napas lolos dari bibir, kemudian menekuk lututnya agar sejajar dengan tinggi anak itu. "Jangan takut, Bibi tidak akan menyakitimu." Pandangannya naik menatap langit dan menunjuknya sampai anak kecil itu ikut menoleh. "Langitnya sedang menangis, nanti kalau kau terkena air matanya bisa sakit. Jadi, tunggu hujannya reda sambil duduk di dalam. Nanti Bibi pesankan cokelat hangat untukmu."

Anak kecil itu masih tidak bersuara, tapi tidak menolak ketika lengannya ditarik lembut memasuki kafe. Wanita itu sedikit mengangkat tubuh kecil anak itu dan mendudukkannya di sofa lembut yang sempat membuat anak itu terkejut karena rasanya begitu nyaman.

"Siapa anak itu, Hyeonmi?"

"Aku juga tidak mengenalnya. Tapi, tubuhnya gemetar ketika aku pegang. Sepertinya dia kedinginan."

"Ah, kalau begitu biar aku pesankan cokelat hangat." Pria itu melepaskan jas cokelat yang ia kenakan dan menyelimuti tubuh kecil itu agar tidak semakin kedinginan. "Hangatkan dia dengan jasku."

Pria itu segera beranjak untuk memesan cokelat hangat serta beberapa kue. Sementara wanita itu merapatkan jas yang menyelimuti tubuh mungil di sampingnya.

"Siapa namamu?" Wanita itu bertanya.

Anak itu mendongak memperlihatkan wajah lucu yang berhias mata bambi dengan binar cerah. Wajah yang dalam sedetik bisa membuat bibir setiap orang melengkung membentuk senyuman manis.

"Kookie," jawabnya pelan.

"Namanya lucu," pujinya. "Kalau Bibi, namanya Bibi Hyeonmi dan yang tadi itu Paman Jeondae. Kau tinggal di sini?"

Anak bernama Kookie menggeleng disertai wajah sedih. Hyeonmi mengalihkan tatap pada tangan mungil yang sejak tadi menggenggam erat sebuah kantong plastik.

"Kau membeli obat?" tanya Hyeonmi lagi.

"Kakak." Kookie bersuara lirih menatap kantong yang setia ia genggam. Rasa cemasnya membuncah karena ingat jika ia sudah pergi terlalu lama meninggalkan sang kakak sendirian.

•••

Seokjin berjalan tertatih keluar dari rumahnya. Tubuhnya menggigil karena demamnya yang tinggi, juga karena terpaan angin. Raut wajahnya menampakkan kecemasan sembari menoleh ke berbagai arah dengan harapan bisa menemukan adiknya yang entah pergi ke mana.

"Seokjin!"

Langkah Seokjin berhenti sejenak mendengar suara bibi Yorae menyerukan namanya.

"Kau mau ke mana? Bukankah kau masih demam?" tanya bibi Yorae mengalun samar di rungu Seokjin yang berdengung.

"Adikku tidak ada di rumah. Apa Bibi melihatnya?" Seokjin balik bertanya.

Bibi Yorae membulatkan matanya terkejut, kemudian menggeleng. "Apa adikmu keluar rumah?"

"Aku tidak tau, Bibi. Waktu aku bangun dan mencarinya, dia sudah tidak ada di rumah." Seokjin terduduk lemas. "Bagaimana kalau adikku hilang? Dia masih tiga tahun, dia pasti tidak tahu jalan pulang."

Bibi Yorae tentu merasakan cemas yang sama. Ia tahu adik Seokjin masih sangat kecil dan sangat riskan jika bepergian sendiri. Apalagi di tengah cuaca seburuk ini.

Seokjin dan adiknya sudah tinggal berdua selama dua tahun karena orang tuanya meninggal terkena wabah yang sempat merebak. Membuat keluarga harmonis itu seketika rusak, bisnis hancur, semua habis tak bersisa dan memaksa Seokjin yang berusia delapan tahun kala itu harus mengemban tugas berat orang dewasa.

Bibi Yorae sempat menawarkan untuk membawa keduanya ke panti asuhan, karena Bibi Yorae juga tidak bisa menampung keduanya. Namun, Seokjin bersikukuh kalau ia bisa mengurus adiknya sendirian, karena masih memiliki sedikit tabungan peninggalan sang ayah.

"Tenanglah, kita akan cari adikmu. Dia pasti bisa ditemukan."

Kenyataannya, hujan hari itu memisahkan seorang kakak dan adik. Hujan terakhir yang Seokjin ingat masih memeluk erat adiknya ketika tidur, lalu bangun dengan adiknya yang sudah menghilang entah ke mana.

[•••]

Hehe... (⁠.⁠ ⁠❛⁠ ⁠ᴗ⁠ ⁠❛⁠.⁠)

Cerita ini adalah salah satu series yang tergabung dalam project bersama beberapa penulis lain. Jadi, ayok masukin library dulu biar muncul notifnya pas update nanti🙃

Akan di update perlahan beriringan dengan Serendipity^^

Kita kembali lagi ke cast Bangtan😙 semoga beneran deh gak berat yang ini. Tapi, kalo berat juga maafin ya, emang keknya sulit aja bikin yg biasa-biasa aja😮‍💨🙏

Serendipity update besok malam. Nikmati dulu itu bab chat si Papa idaman☺️

Maaf untuk segala typo yang betebaran🙇🏻‍♀️

See you💜

Dissipate [Hujan & Januari Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang