4. Pernah

3 3 0
                                    

- September 2019

"Terima kasih, bunga yang indah"ucapku saat menerima bucket bunga dari tangan seseorang yang telah berdiri dihadapanku dengan senyum manisnya

Laki-laki berbadan tinggi tegap didepanku ini adalah salah satu dari sekian banyak cara memperoleh sakit hati yang paling aku inginkan. Dia seperti racun yang aku pilih sendiri untuk di minum meskipun tau akhirnya akan sekarat bahkan mati aku tidak terlalu peduli, terpenting bagiku apapun statusnya asal tetap bisa berada di sampingnya.

"Dalam rangka apa ngasih bunga?"tanyaku

"Pengen aja"jawabnya singkat "Jadi, habis makan kita kemana lagi?" dia balik melempar pertanyaan yang aku sendiri masih belum mempunyai jawaban pasti ingin melakukan apa setelah dari restoran ini.

Ya, hari itu aku dan Bian kembali bertemu untuk sekedar bertukar cerita tentang kesulitan yang kami alami selama beberapa bulan terakhir. Intensitas kami bertemu semakin lama memang semakin berkurang karena banyak faktor, kadang di sekolah pun kami tidak berpapasan sama sekali. Namun, kami tetap melanjutkan komunikasi dengan bertukar pesan sekedar menanyakan kesibukan atau memberitahu keluhan di hari itu.

"Gimana kalau balik aja"pintaku yang tiba-tiba teringat memiliki janji lain hari itu.

"Hmm, yaudah" aku melihat ekspresi kekecewaan diwajahnya

Setelah menyetujui untuk pulang, sepanjang jalan kami menjadi canggung. Aku sesekali melirik kearah Bian yang sedang fokus mengendarai mobilnya, sedangkan aku berpikir keras untuk memecahkan keheningan setelah melihat Bian yang hanya diam sejak tadi. Haruskah aku memulai obrolan terlebih dahulu? tapi kenapa? bukannya wajar jika dia tidak ingin berbicara karena fokus menyetir, entahlah aku terus berkelahi dengan pikiran sendiri sampai satu panggilan menyadarkanku.

"Lea"

"Hmm"

"Ternyata kita putus udah satu tahun lebih ya" apa yang sebenarnya dia pikirkan sejak tadi sampai mengucapkan kalimat seperti itu.

"Maksudnya?"

"Kamu ga kepikiran buat cari pacar lagi gitu?"

"damn" batinku

Bisa-bisanya dia memberi pertanyaan semacam itu, sebenarnya dia memang tidak peka atau hanya pura pura tidak tau kalau aku masih menunggunya bahkan rela berkedok sebagai teman asalkan bisa terus bersama dia. Laki-laki macam apa yang menyuruh mantan pacarnya yang belum move on untuk mencari penggantinya, lucu sekali.

"Kamu sendiri? ngga mau cari pacar?" aku mencoba membalikkan pertanyaan untuk melihat seperti apa reaksinya

Bian terkekeh "Masih belum kepikiran aja sih, soalnya masih" jawaban template dari orang orang yang berusaha menjaga image

Ketika mobil berhenti tepat didepan rumahku, disana sudah terparkir rapi sebuah motor yang tidak asing. Seorang laki-laki bangkit dari duduknya ketika melihatku turun dari mobil bersama Bian, wajah datarnya sangat sulit diartikan tatapannya begitu tajam dan menakutkan tertuju pada satu orang yaitu Bian.

"Lang" sapaanku tidak mendapat respon

Bian menyentuh pundakku sehingga aku berbalik kearahnya "Aku balik dulu ya" aku hanya mengangguk lalu dia kembali masuk ke dalam mobil dan pergi.

Langkah kakiku mulai menuntun menuju tempat seseorang berdiri dengan kaku dan tatapan tajam seolah akan menghabisiku hari itu. Tanpa basa basi aku menarik tangannya untuk duduk, setelah menaruh bucket yang sedari tadi beradaan digenggamanku akupun ikut duduk disamping Langit, dengan ragu melirik kearahnya.

"Masih?"tanyanya dengan ketus

"Lang...lu kan tau gue sama dia cuma temenan aja sekarang" usahaku menjelaskan sia sia dia masih belum bereaksi seperti yang aku inginkan "Apa salahnya sih? kan kayak gue sama lu gitu"

Dia yang tiba-tiba berdiri membuatku terkejut secara refleks memegang tangannya "Jangan samain kita sama hubungan lu sama dia itu jelas beda" ujarnya dengan nada tinggi "Jelas-jelas lu masih punya perasaan ke dia dan masih berharap balikan iya kan? sementara kita? kita pure berteman, Kalea"

"Kok lu bentak gue sih" ujarku bangkit dari duduk menatap kearah Langit

Entah kenapa mataku mulai berkaca kaca saat itu, serasa tetampar oleh ucapan Langit yang sangat amat benar. Aku tidak bisa menyangkal karena apa yang dikatakan Langit adalah kebenaran yang selalu coba aku tolak, sampai saat ini pun tetap seperti itu. Langit mulai memegang kedua pundakku dengan tatapan yang sangat dalam kali ini, tatapannya berbeda dari biasanya.

"Gue cuma gamau lu disakitin lagi"ucapannya terdengar tulus dan tepat sasaran seketika air mataku terjatuh

Langit mengusap air mataku dengan tangannya yang dingin "Kalaupun gue tau cara buat lupain dia pasti udah gue lakuin dari dulu, tapi sulit lang.." ujarku lalu tenggelam dalam pelukan Langit malam itu.

MOKSHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang