5. Lemah

7 2 1
                                    

- Desember 2019

Hari itu suasana malam tampak indah dengan hiasan lampu kota, kendaraan yang sedikit melintas dan rintikan hujan yang berhasil mendinginkan hawa panas perkotaan. Langkah demi langkah aku lalui, menyusuri jalan mencari kedamaian setelah banyak bersosialisasi seharian, itu sangat melelahkan. Sesekali mataku tertuju pada langit malam menikmati guyuran hujan sambil melepas penat, seakan segala masalah yang ada terlupakan sejenak.

"Hujan tidak semenyeramkan itu"gumamku

Aku bersenandung dibawah hujan tanpa payung, membiarkan rintikannya membasahiku. Mungkin, beberapa orang yang melintas akan berpikir aku sudah gila bukan berteduh malah menikmati air hujan dimalam hari seperti ini, terserah mereka berasumsi apa saja siapa yang peduli.

"Lebih baik dianggap gila daripada pura pura tetap waras bukan?"aku terkekeh karena ucapanku sendiri

Tiba-tiba air hujan yang tadinya deras berhenti mengenai tubuhku padahal hujannya belum reda. Mataku melihat ke arah atas ketika payung warna putih telah berada tepat diatasku, pandanganku beralih ke samping memperhatikan seseorang yang telah berdiri tegap memayungiku dengan senyuman paling manis menurutnya. Binar mata kami tidak bisa berbohong ketika pandangan kami bertemu satu sama lain, mungkin itu adalah tatapan tulus.

"Kebiasaan"ujarnya

"Kamu?"

"Are u okay?" aku hanya mengangguk

"Ayo neduh"ujarnya lalu tanpa izin menarik tanganku membawaku berteduh disebuah halte bus dan bodohnya aku hanya menurut.

Dia menaruh payungnya lalu melepaskan jaket yang dikenakan dan memasangkannya pada ku yang sudah basah kuyup, mungkin dia berniat agar aku tidak kedinginan saja. Namun, tidak hanya berhenti disitu tiba-tiba aku merasa tercengang ketika dia meraih kedua tanganku dan menyatukan dengan telapak tangannya, perasaan macam apa ini Tuhan.

"Jangn suka hujan hujanan nanti sakit"ucapnya sambil berusaha memberi kehangatan pada tanganku.

"Kenapa kamu tiba-tiba ada disini?"tanyaku heran

"Tadi kebetulan lewat aja"

Aku sadar hal yang sekarang kami lakukan tidak baik untuk perasaanku, seketika aku memberontak berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya. Mungkin, hal ini biasa disebut dengan salah tingkah pada akhirnya sangat canggung. Bagaimana bisa aku melupakan laki-laki ini jika sikapnya saja terus seperti ini padaku, memberi perhatian lebih dan selalu datang disaat yang tepat.

"Bian, can i tell u something?"

"sure"

"don't act like this" ucapku enggan menatap matanya "bagaimana bisa, aku lupain kamu kalau kamu sendiri terus kayak gini, Bian..." sambungku tanpa berpikir panjang

"Apa salahnya? aku cuma gak mau kamu sakit udah itu aja ngga lebih"jawabnya enteng "Kamu juga ngga perlu berusaha keras lupain aku, toh aku juga masih disini sama kamu" kali ini kalimatnya semakin membuat pikiranku rumit dan denial

"Tapi kita udah selesai, kamu lupa" aku kesulitan mengontrol emosi sehingga menaikan sedikit nada bicaraku

Dia membalikkan badan menghadapku memegang kedua pundakku dengan wajah yang berusaha untuk meyakinkan perempuan gila dihadapannya ini. "Lea, hubungan kita aja yang selesai tapi perasaan kita belum bukan?" ucapannya begitu manis "Kita jalani aja kayak gini ya"

Seketika aku menepis tangan Bian "Kayaknya kamu lebih gila deh, kesepakatan kita cuma untuk berteman ngga lebih" kalimat demi kalimat aku lontarkan berusaha menyadarkannya "Dan semua yang kamu omongin itu bullshit, kamu pikir aku ngga tau kamu udah deket sama cewe lain, hah?" sebuah fakta yang berhasil aku keluarkan

"Kamu tau darimana?"

"Penting ya, aku tau mana?"

"Itu semua cuma salah paham, she's my friend just friend, okay" dia meraih tubuhku menenggelamkan dalam pelukannya.

Bahkan semudah itu emosiku reda hanya karena sebuah pelukan hangat darinya, kenapa aku menjadi sangat lemah jika berhadapan dengan perasaan. Ini tidak bisa terus dibiarkan, atau aku akan menjelma sebagai perempuan lemah yang gampang diluluhkan oleh kata kata manis dan perlakuan hangat seseorang.

"I'm so sorry, kalea"

MOKSHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang