"Lulu bangun, udah jam setengah tujuh! Kamu ga mau sekolah? Kasian abang nungguin kamu! Nanti kalian telat!"
Kaluna dengan cepat membuka matanya dan mendudukkan diri saat mendengar suara sang ayah. Ia melihat ayahnya itu sedang berdiri disamping ranjang dengan kedua tangan yang bersedekap dada.
Setelah sadar sepenuhnya, Kaluna segera berlari terbirit menuju ke kamar mandi. Benar-benar sudah terlambat!
Hanya butuh dua puluh menit untuk Kaluna bersiap dalam keadaan genting. Lima menit mandi, sepuluh menit bersiap dan lima menit untuk menata buku.
Kaluna bukan tipe orang yang pintar dan rajin, bukan tipe orang yang akan belajar setiap malam untuk mengejar ilmu, mengerjakan semua prnya atau bahkan hanya untuk melatih berhitung.
Tidak, presepsi itu benar-benar salah.
Kaluna lebih menyukai teori dari pada menghitung rumus. Namun entah mengapa saat pendaftaran SMA kemarin, ia memilih kelas IPA— yang sialnya kelas yang ia tempati berisi orang-orang cantik yang ambisius.
Tanpa berlama-lama, Kaluna segera turun kebawah dan mendapati keluarga kecilnya itu tengah menyantap sarapan bersama.
"Abangg! Kok masih makan?! Ayo! Nanti kita telat!" pekik Kaluna dengan panik.
Haikal yang sedang mengunyah roti panggangnya itu mengernyit heran, "Apaan deh? Masih jam enam, gerbang tutupnya masih empat puluh lima menit lagi."
Kaluna menjatuhkan rahangnya begitu mendengar ucapan sang abang. Ia segera beralih menatap jam dinding yang ada dibelakang abangnya, ia lalu beralih menatap sang ayah dengan tatapan kesal.
"Ih! Ayah mah, bohongin Kaluna terus!"
Ayah yang tengah menyesap kopi hitamnya itu tertawa pelan merasa bangga karena telah mengerjai anak bungsunya lagi dan lagi. Usianya yang memasuki kepala lima tidak membuat kadar ketampanan ayah luntur, tubuh ayah masih bugar— cukup kuat jika disuruh bunda angkat galon atau memindahkan pot tanaman.
"Udah, ayo sarapan dulu. Bunda udah bikinin roti bakar coklat pake keju kesukaan adek." balas ayah menenangkan.
Kaluna berjalan ke arah meja makan dengan menghentakkan kakinya kesal. Ia segera duduk disamping abangnya dan melahap sarapannya dengan muka yang ditekuk, membuat bunda lagi-lagi menggeleng heran.
Kembali pada kisah singkat Kaluna di SMA nya.
Kaluna selalu merasa bahwa manusia-manusia penghuni kelas 10 IPA-1 memiliki ambisi yang besar untuk mencapai angka sempurna. Tidak hanya persoalan tubuh & wajah ideal saja, tetapi nilai juga.
Kaluna muak jika setiap hari pembahasan para wanita itu adalah tentang skincare atau hanya iseng membahas Massa Molekul Relatif (Mol) atau tentang bagaimana cara menghitung energi potensial. Yang entah mengapa Kaluna menjadi sangat pening saat melihat rumus itu.
Dan juga, entah mengapa, pada kelas IPA diberikan mata pelajaran bahasa tambahan yang— Argh! Kaluna benar-benar tidak suka!
Bahasa Prancis.
Menyebutkannya saja sudah membuat Kaluna gumoh.
Berbeda dengan Kaluna yang memasuki kelas IPA dengan alasan ingin mencoba hal baru— abang Haikal yang memang tidak suka perhitungan itu lebih memilih aman dan masuk ke kelas IPS.
Membicarakan tentang abang Haikal, selisih umur Haikal dengan Kaluna hanya dua tahun. Jadi, saat ini Haikal tengah disibukkan dengan persiapan ujian, study campus, penyelesaian tugas yang menumpuk, dan mengejar nilai.
Hanya tinggal satu semester saja sebelum Haikal benar-benar disibukkan dengan PAT, PAS, Ujian Praktikum, UTBK, dan sepertinya masih banyak lagi. Entahlah, hanya itu saja yang Kaluna tahu.
