28 11 1
                                    

Perlengkapan sekolahku semuanya sudah siap. Topi, dasi, seragam, sabuk, dan alat tulis semuanya sudah ku siapkan. Satu yang belum siap. Diriku. Aku belum siap untuk pergi ke sekolah, aku belum siap untuk pergi ke neraka penyiksa diriku. Aku belum siap untuk suatu hal yang terjadi padaku selanjutnya. Aku ingin pergi membolos, tapi ayahku sangat ketat. Bila aku ketahuan membolos, aku akan langsung dimasukkan ke dalam gudang yang gelap dan bau apek. Aku tidak akan diberi makan selama berada di sana. Tapi, jika aku pulang dalam keadaan babak belur, ayahku selalu berprasangka bahwa aku baru saja bertengkar dengan seseorang.

Aku menghela napas. Mempersiapkan seluruh jiwa dan ragaku untuk pergi ke dalam neraka dunia.

Ragaku sudah masuk seluruhnya ke dalam bangunan besar. Bangunan yang biasa orang sebut dengan 'sekolah'.

Aku meneguk ludahku kasar. Aku berjalan perlahan sembari menunduk. Badanku bergetar seluruhnya. Orang-orang melihatku dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Aku mempercepat langkahku untuk segera pergi ke dalam kelasku. Namun, saat tak melihat ke depan, tubuhku menabrak sesuatu yang besar di hadapanku. Aku menatap makhluk yang kutabrak. Oh tidak.

"M-maaf!" Badanku membungkuk 180°. Aku enggan menatap manik tajam milik seseorang di hadapanku. Bahaya.

"Oh malang. Pria kecil di depanku sepertinya ingin mendapat hukuman." Ia menyeringai. Kemudian menyeretku ke sebuah tempat. Ia menyeretku ke kamar mandi. Sepertinya 'hal itu' akan terjadi kembali padaku.

"Apa yang-" Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, tubuhku langsung disiram dengan air dingin. Aku terdiam kaku. Masih mencerna apa yang terjadi. Aku menatap makhluk besar sok keren di hadapanku dengan tatapan tajam.

"Badan kotormu harus dibilas dengan air, agar kotoran di tubuhmu menghilang," ucapnya dengan diakhiri tawa.

Aku menatapnya tak percaya. Sekarang tubuhku basah, bagaimana aku bisa melaksanakan kegiatan belajarku? Ini masih pagi, bisa-bisa aku masuk angin jika mengenakan pakaian yang basah sepanjang hari.

Tawa pria besar itu perlahan memudar. Ia melihatku dengan tatapan penuh arti. Aku tak mengerti, tapi setelah ia menatapku seperti itu, ia membawaku ke watafel. Ia menggendongku lalu menaruhku ke atas wastafel. Aku tersentak saat punggungku tak sengaja terkena keran wastafel, itu sakit.

Ia menarik rambut ikalku dengan tangan besar nan kekal miliknya. Badanku terjengkang ke belakang. Untungnya ada kaca yang menempel pada dinding kamar mandi yang menahanku agar tidak jatuh. Aku meringis ketika ia tak henti-hentinya menarik rambutku dengan penuh kisarat dendam di lubuk hatinya.

Aku tidak tahu kenapa aku diperlakukan seperti ini. Aku tidak tahu di mana letak kesalahanku. Aku mendapat perlakuan buruk tanpa kuketahui di mana letak kesalahanku. "A-aku s-shalah. Ap- egh!"

"Diam!" Suara berat seperti beton itu keluar dari bibirnya. Ia mencekik leherku, membuatku sesak napas. Aku berusaha melepaskan cengkraman tangannya dari leherku, namun nahas, kekuatanku dan kekuatannya tak sebanding. Aku yang kurus melawan tubuh gemuk berisi, aku tidak mungkin bisa menang melawannya.

Tangan kekarnya terus mencekik leherku. Ah, bisa-bisa aku mati dibuatnya. "Akh ekh! L-le-lepash- ha!" Aku sudah tidak kuat. Ia masih terus mencekik leherku dengan kuat. Siapapun, aku tak ingin mati sekarang. Tolong aku.

Ia melihat wajahku yang sudah sangat memerah segera melepaskan cengkraman tangannya pada leherku. Mungkin ia tak ingin aku mati dulu, karena masih ada banyak siksaan yang harus dia berikan padaku.

Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah cutter digenggam oleh jemari itu. Ia mendorong benda yang berada di tengah-tengah cutter tersebut, sehingga terpampang jelas benda tajam yang mulai menjulang tinggi.

TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang