17 10 3
                                    

"Are, minum obatmu terlebih dahulu," ujar Rendra yang sudah siap dengan nampan di tangannya. Ia membawa nampan berisi bubur, air mineral, dan sebutir obat untuk aku makan dan minum.

Ah, aku sudah bosan dengan obat-obatan. Aku sedikit ingin mempermainkannya. Jadi, aku tersenyum singkat lalu ....

Hup!

Aku berlari meninggalkan Rendra di kamar sendirian. Aku terus berlari sangat jauh agar tidak bisa dijangkau oleh Rendra. Sehingga aku sampai pada sebuah taman. Aku melihat ada kursi panjang yang memang biasa ada di taman. Aku menghampiri kursi itu lalu aku mendudukan pantatku di kursi panjang itu.

Ah ... kuharap Rendra tidak sampai ke sini.

Aku memejamkan mataku menikmati sentuhan angin yang menerpa wajahku. Aku yang tak membuka mataku tidak menyadari keberadaan orang di belakangku. Aku menyadari ada orang di belakangku saat aku tidak merasakan teriknya matahari lagi.

Aku membuka mataku. Ah! DANGER! Sudah ada Rendra di belakangku.

Aku berusaha untuk melarikan diri, tapi tangan Rendra berhasil menarik baju oversize milikku. "Ha ... mau ke mana kau?" Ia menarik paksa bajuku sehingga membuatku berada tepat di hadapannya.

Aku tersenyum kikuk. Rendra menyentil dahiku dengan kedua jarinya. Ia terkekeh pelan saat melihatku merintih.

"Kau bukan anak kecil lagi, ayo minum obat!" suruhnya, aku menggeleng cepat. Rendra mendecih singkat lalu menatapku dengan manik tajam. "Ya sudah jika tidak ingin sembuh." Kemudian Rendra melepaskan cengkramannya pada bajuku lalu pergi meninggalkanku begitu saja.

Ah, salah lagi.

Aku melihat punggung Rendra yang mulai menjauh. Rasanya seperti dulu, saat aku masih di bangku Sekolah Menengah Akhir. Orang-orang pergi meninggalkanku sendirian. Tidak ada yang percaya padaku. Apa semua ini akan terjadi kembali? Rendra akan meninggalkanku seperti temanku dulu? Rendra akan membuatku kesepian lagi? Terlalu banyak pikiran negatif di kepalaku.

Ptang!

"Tinggalkan dia!"

"Jangan percayai dia!"

"Maaf, aku harus meninggalkanmu, Are."

"Apa yang kamu lakukan!? Ayah benci padamu!"

"Anak tidak berguna! Bisanya membuat masalah saja."

Maaf .... Maaf .... Jangan ... tinggalkan aku lagi. Kumohon ....

Aku tersentak. Badanku melemas, kakiku seketika tak kuasa menahan bobot tubuhku. Aku terjatuh ke tanah dengan lututku sebagai penampung bobot tubuhku. Air mataku mengalir membasahi pipi. Aku melihat punggung Rendra yang mulai menjauh.

Apakah ... orang-orang akan meninggalkanku lagi? Rendra pergi, aku akan sendiri kembali. Pandanganku memudar, tatapanku menampakkan bayangan yang lambat. Perlahan, pandanganku seketika menghitam. Aku ambruk ketika itu juga.

𓃟

"Jangan ganggu Aksara! Kalian boleh merundungku tapi jangan Aksara!"

"Bocah ini mau jadi jagoan, huh?" Ia memberiku tatapan meremehkan. Aku tidak peduli, sekarang yang harus kupedulikan adalah Aksara, temanku satu-satunya.

Aku menangkup wajah Aksara yang sudah dipenuhi oleh lebam. Aku menatap miris luka-luka itu. Kenapa? Apa tidak cukup hanya aku yang mereka tak percayai? Apakah tidak bisa hanya aku yang dirundung? Temanku jangan. Dia tak tahu apa-apa ....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang