.pe(r)temuan

13 1 0
                                    

Sungguh bukan hari yang indah..”

Panas matahari yang menyengat seakan menertawakan gadis dengan setelan formal berwarna toska itu. Siang ini, di bawah suhu 34 derajat celcius, Kei mempersiapkan dirinya sebelum melangkahkan kaki memasuki salah satu gedung tertinggi di ibukota. Ia menghela napas panjang, lantas berkata, ”Tuhan, selamatkan aku..”, dengan hati yang gusar.

Kei mulai berjalan memasuki lobby utama. Seorang pegawai menghampirinya sebagai pemandu jalan. Setelah menghadapi suhu panas kota Jakarta, mata lelahnya langsung dimanjakan oleh kemewahan arsitektur gedung yang memberi kesan klasik nan hidup. Energinya seakan terisi kembali. Ini adalah arsitektur favorit yang selalu ia dambakan sejak dahulu. Oh, lihatlah perpaduan warna emas dan hitam pekat pada jam gantung itu! pasti membuat siapapun yang melihat tak ingin berpaling darinya. Dan tak hanya arsitekturnya yang menarik, para pegawai disini pun sangat rapi dan piawai dalam berpakaian. Kei jadi merasa seperti remahan kerupuk sekarang. Namun ia tetap berjalan dan memancarkan aura percaya diri yang tak pernah hilang darinya itu.

Kei tak henti-hentinya mengagumi pemandangan yang disajikan sejak ia memasuki gedung ini. Hingga ia sampai di depan pintu besar dengan ukiran khas Jawa yang berpadu dengan lapisan emas di setiap lekukannya, Kei berhenti. Berhenti dari langkahnya, dan dari kegiatannya mengagumi isi gedung ini.

Ia teringat sesuatu.

Jika ia membuka pintu ini, maka ia akan bertemu dengan seseorang yang dapat menjadi celah untuk membuka luka lamanya kembali.

Namun tak ada jalan lain, ia harus mempersiapkan diri. Kei tidak boleh sampai goyah dengan keputusannya empat tahun lalu. Sebelum memasuki gedung ini pun ia sudah memikirkan hal ini sepanjang hari. Hingga seluruh pemandangan gedung ini membuatnya lupa akan semua ketakutan itu. Dan sekarang, Kei harus melihat pintu menuju luka lama itu terbuka.

“Silahkan masuk, Nona”, pegawai yang menemaninya itu tersenyum. Ah, entah mengapa senyuman itu menjadi terlihat seperti ejekan bagi Kei.

Kei membalas senyumannya, memasuki ruangan itu sendiri dengan jantung yang berdegup kencang. Sejujurnya Ia takut. Sangat takut. Rasanya seperti memasuki kandang beruang yang sedang kelaparan. Kei takut, luka lamanya yang sudah lama mengering itu akan kembali basah.

”Selamat pagi, Pak”, ucap Kei kepada seorang pemuda yang tengah serius menatap layar monitor di depannya.

Kei masih berdiri di ambang pintu dan menghadapi kenyataan bahwa lawan bicaranya tak menggubris sedikitpun. Ia menarik napas panjang, ”Selamat pagi Pak Reino Abraham. Perkenalkan, saya Keira Rieva, ketua departemen humas Ernesta Group. Tujuan saya menemui bapak yaitu untuk membahas proposal mengenai—“

”Silahkan duduk”

Ucapan Kei terhenti. Rasa takutnya kini bercampur dengan kebingungan. Apa yang akan dilakukan orang ini?  pikirnya.

Kini ia duduk di hadapan seseorang yang hampir menjadi seluruh bagian dari hidupnya. Meskipun orang ini terlihat tak acuh atas kehadirannya, dalam sepersekian detik, rasa takut, kecewa, sedih, dan amarah kembali bergejolak di hati Kei.

Namun ia berusaha untuk tetap terlihat tenang.

”Saya sudah membaca proposal yang kamu kirim dua hari lalu. Rasanya memang  aneh jika saya menolaknya. Tapi.. ”, Reino mengalihkan pandangannya dari layar komputer menuju retina milik Kei. Sekelebat memori juga menghampiri pikirannya.

”Ada masalah yang harus diselesaikan lebih dulu”

Kei sudah menduganya. Sesuatu pasti terjadi hari ini. Terbuka sudah luka lama yang telah ia jahit dengan susah payah. Luka itu seakan hendak memberi tahu seluruh dunia dari mana asal-usulnya.

”Selama saya melakukan penelitian hingga mengusung proposal ini, saya rasa tidak ada masalah yang muncul dan harus diselesaikan. Jika terjadi sesuatu, bapak bisa memberi tahu saya masalah apa yang terjadi dalam proyek ini”, Kei memberi penekanan pada kalimat terakhir.

Reino melepas kacamatanya. Ia menghela napas.

”Kei”

”Saya tidak menerima pembahasan diluar pekerjaan.”

”Kei, i just want to apologize for—”

”Sekali lagi saya tekankan, bahwa saya tidak menerima pembahasan diluar masalah pekerjaan”, ucap Kei dengan nada tegas. Kini tak ada lagi senyuman yang terlihat dari wajahnya.

Reino mendengus kecil. Ia merasa kehilangan kesempatan. ”Baik. Tidak ada masalah dalam proposal yang kamu ajukan. Saya sudah membacanya kemarin. Untuk keputusan kerjasama akan saya pertimbangkan setelah ini”

”Baik Pak. Jika semuanya sudah jelas, saya rasa cukup untuk hari ini. Sungguh besar harapan kami untuk bekerjasama dengan Atmanegara. Saya tunggu kabar baiknya”, Kei mengakhiri kalimatnya dengan senyuman palsu. Ia tidak ingin berlama-lama di ruangan ini.

”Saya izin pamit. Terima kasih atas waktunya, Pak”, Kei berdiri dan mengulurkan tangannya hendak bersalaman.

”Sama-sama”

Pergerakan Kei terhenti ketika pemuda itu malah menarik lengannya. Ia mengernyit.

”Now, let's talk about us”, Reino berkata serius.

”Mohon ma—”

”Ada yang perlu kita bicarakan Kei.. ”

Detik itu juga, Kei kehabisan kesabaran. Ia lantas menarik tangannya paksa, ”Nothing happened, Rei”

”Kei.. ”

”Semuanya sudah cukup jelas, Rei. Gak ada yang mau aku bicarakan lagi”

”Tapi aku mau membicarakan sesuatu, Kei”

”Aku gak mau dengar!”

”Tapi kamu perlu mengetahuinya”, ujar Reino dengan penuh penekanan.

Kei terdiam. Ia menatap retina milik pemuda itu, mencari kebenaran di dalamnya.

”Aku rasa gak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Rei. Sepenting apapun hal itu, aku udah memutuskan untuk gak berhubungan lagi dengan kamu”

”Tapi Kei, a—”

”Dan aku harap kamu menghargai keputusan aku”, Kei sedikit memohon. Ia langsung bergegas keluar tanpa menggubris perkataan Reino. Kei sudah muak. Kali ini ia tidak akan membiarkan dirinya kembali jatuh ke lubang yang sama. Sudah susah payah bangkit dan dirinya harus kembali hancur? Oh, Kei tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Akan tetapi, Kei berhenti di ambang pintu ketika mendengar sebuah nama yang keluar dari mulut Reino.

”Adhikari. Ia kembali”

Detik itu juga, napas Kei tercekat. Dadanya terasa sakit seperti tertusuk belati. Ia benar-benar takut. Tangannya gemetar. Nama yang sangat ingin ia hapus dari hidupnya telah kembali. Kali ini apa yang akan ia perbuat? kekacauan? atau penganiayaan?

”Jangan sebut nama itu lagi di hadapanku. Ia tak pantas hidup di dunia ini”, ujar Kei dengan suara yang penuh dendam dan bergetar. Ia langsung membuka pintu dan pergi. Air matanya sudah tak terbendung sejak ia mengucapkan kalimat terakhir pada Reino.

Aku sudah memaafkanmu, Reino. Tapi Adhikari bukan lagi urusanku. Dia urusanmu sekarang. ”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DARI : KEITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang