"Haha ... kayaknya anakku bakal ngemong deh, Si Latisha manja. Kebalikan aku dan kamu. Dulu kan aku manja banget ke kamu."
"Masa sih?"
"Peratiin deh, Tari suka banget ngasih-ngasih makanan ke Latisha."
Ajeng memperhatikan gerak-gerik Latisha dan Tari, tampak Tari lebih mengalah dari Latisha dan beberapa kali berusaha memberi sesuatu ke Latisha.
Ajeng tertawa kecil dan mengangguk. Dan sekarang Latisha sudah menolak makanan darinya dan memilih makanan yang disodorkan Tari.
"By the way, usia Kivan dan Latisha bisa sedekat itu ya, Jeng? Kamu nggak KB?" tanya Gita tiba-tiba.
"KB, Git. Tapi mungkin keknya aku nggak rutin aja, eh ... jebol."
"Haha. Itu Mas Lintang aja yang terlalu semangat. Curiga ih, pasti setiap hari."
"Apanya yang setiap hari?"
"Ah, pura-pura nggak tau nih." Gita mencubit lengan Ajeng gemas.
"Aku suka anak-anak, Mas Lintang juga. Tapi kali ini, memang harus direm dulu," ujar Ajeng sambil senyum malu-malu.
Tak lama kemudian, Lintang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah mereka yang sedang asyik memperhatikan Latisha dan Tari. Dia sedang menggendong Kivan yang tampak mengantuk.
"Direm, Mas. Direeeeem," ujar Gita ke Lintang yang berdiri di samping Ajeng.
Lintang bingung. "Apanya yang direm?"
Ajeng tertawa menggeleng melihat ulah Gita.
"Punya anak. Jangan kegini nih, rempong kan?" ujar Gita sambil menunjuk Kivan dan Latisha.
Lintang tertawa kecil. "Orang dianya yang mau," dia melirik ke arah Ajeng yang tertunduk, menyembunyikan ekspresi malu di wajahnya.
"Emang Mas nggak mau gitu?" tanya Gita.
"Ya, mau juga ... lima sih."
"Haha, ampun dah."
"Ajeng katanya mau tujuh tuh."
Gita mendadak mencekik lehernya sendiri, membayangkan banyaknya anak-anak di rumah.
Kehadiran anak-anak dalam keluarga tentu sangat membahagiakan, terutama Lintang. Dia mengajak ketiga anaknya bermain di dalam kamarnya yang memang berukuran besar. Senang memperhatikan Janu, Kivan dan Latisha akur bermain. Yang paling berkesan baginya adalah ketika melihat Janu yang duduk sambil memangku Latisha dan membimbingnya bermain bersamanya. Kivan juga tidak mengganggu dan terlihat berusaha menyenangkan Latisha. Janu memang seorang kakak yang sangat baik dan penuh perhatian, dan tanpa sengaja Lintang jadi mengingat almarhum kakaknya, yang sama persis seperti Janu, berusaha menyenangkan adik-adiknya, sampai rela bekerja di usianya yang terbilang muda.
Tak lama kemudian, terdengar pintu kamar terbuka. Ternyata Ajeng yang baru saja pulang dari kampus.
Ajeng terkejut melihat pemandangan di dalam kamar, sang suami sedang duduk-duduk santai selonjoran, mengawasi ketiga anak yang sedang bermain bersama di atas lantai yang dialasi karpet tebal.
"Ah! Sedang kumpul di sini semua rupanya!" Ajeng berteriak senang. Dia lalu duduk di samping Lintang. "Ah, lega aku, Mas. Bulan depan aku bisa wisuda. Kak Pedro yang urus."
Lintang terkekeh pelan. Ajeng lalu menggelayut manja di bawah ketiaknya.
Ajeng benar-benar bekerja keras di sela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, meskipun hamil, menyusui, dan mengurus anak-anak dan suami, dia tetap tidak meninggalkan kewajibannya sebagai seorang mahasiswi. Alhasil, berkat dukungan orang-orang tersayang, Ajeng bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu.
Janu dan dua adiknya lalu mendekati Ajeng, dan Latisha sudah menunjuk-nunjuk dada mamanya.
"Tunggu ya? Mama mandi dulu boleh nggak?" Ajeng mencoba merayu Latisha.
Janu dengan penuh perhatian ikut membujuk Latisha, agar bersabar.
Lintang tersenyum bahagia melihat tingkah anak-anaknya yang sangat membanggakan. Terutama Janu, yang sangat perhatian kepada adik-adiknya.
Ajeng lalu bangkit dari duduknya, dan melangkah cepat menuju kamar mandi. Dia sempat melirik ke Lintang agar tidak mengikutinya ke dalam kamar mandi, khawatir anak-anak mereka kebingungan.
Beberapa menit setelahnya, Ajeng sudah mandi dan rapi serta wangi. Dia kembali duduk di samping Lintang, dan sudah siap menyusui Latisha. Janu dan Kivan lalu melanjutkan permainan mereka, yang sebelumnya main mobil-mobilan dan rumah-rumahan.
Tak pelak, kantai kamar Ajeng dan Lintang dipenuhi beragam mainan.
"Hmmm." Lintang bergumam melihat mulut Latisha yang sudah asyik menghisap dada mamanya.
"Ngiler, Mas?"
"Ntar malem giliran," ujar Ajeng sambil mencubit pipi Lintang gemas.
"Enak soalnya."
Ajeng tertawa menggeleng.
Lintang tampak mengawasi Janu dan Kivan bermain. Setelah memastikan keduanya fokus bermain, dia lalu mengalihkan pandangan ke Ajeng, mendekatkan wajahnya ke wajah Ajeng, dan melumat bibir Ajeng dengan lembut, sambil memasukkan lidahnya ke dalam mulut Ajeng.
Kontan Ajeng menutup mata Latisha dengan telapak tangannya.
Merasakan sesak di dada karena napsu yang meningkat, Ajeng menyambut lidah Lintang dengan menghisapnya, hingga terdengar lenguhan Lintang. Setelahnya keduanya bertukar ludah dengan semangat.
"Au." Lintang tertawa kecil saat menerima tendangan kaki Latisha. Si kecil itu tampaknya tidak suka papanya dimanja mamanya. Tangan Ajeng yang menutup wajah Latisha, terlepas begitu saja sehingga anak bayi itu melihat keduaorangtuanya sedang berciuman hebat.
Lintang mengigit jempol gendut Latisha gemas. Tapi Latisha malah tertawa menyeringai, giginya yang tajam menarik-narik ujung buah dada mamanya. Ajeng dengan cepat menutup hidungnya beberapa saat, sampai Latisha membuka mulutnya.
"Jangan gigit ya? Sakit," rengek Ajeng ke Latisha. Seolah mengerti, Latisha lanjut menyusu dan tidak menggigit lagi.
"Apa rencana kamu nanti setelah wisuda?" tanya Lintang mulai serius.
"Punya anak lagi." jawab Ajeng dengan senyum manisnya.
Lintang tertawa renyah, lalu mencubit pipi Ajeng gemas.
"Yah ... bekerja membantumu sebaik mungkin. Merawat keluarga ... kamu, anak-anak," lanjut Ajeng kemudian. Mata Ajeng berkaca-kaca, mengingat masa-masa sulitnya dulu. Dia mendekap pinggang Lintang erat-erat dengan satu tangannya, bahagia setelah menikah dan hidup bersama Lintang.
"Aku sudah pilih ruko untuk menjual kue-kue buatan kamu. Mama juga mau join."
Ajeng berseru senang. "Di mana, Mas?" tanyanya.
Ajeng memang pernah berencana berdagang kue-kue, Widya pun sangat mendukungnya dan ingin ikut sibuk bersama Ajeng.
"Di samping gedung kantorku," jawab Lintang.
Ajeng mendadak tertawa, sampai Latisha yang masih menyusu ikut tertawa.
"Kamu nggak boleh jauh-jauh ah."
"Iya, Mas. Aku seneng banget kok, nanti ngebayangin kamu singgah di tokoku."
"Iya, emang begitu tujuannya. Biar bisa pulang bareng. Di lantai dua ada kamar khusus untuk bobok siang kita berdua."
Ajeng tertawa lagi, dia mencium pipi Lintang lagi. Senang membayangkan keseruan keluarga mereka selanjutnya di hari-hari mendatang.
TAMAT
Terima kasih sudah baca dan ngikutin kisah ini. Bahagia banget diberi vote dan komen yang membangun cerita2 kita selama ini.
Cerita ini akan kita hapus, dan kapan-kapan kita up lagi.
Ikutin Ray
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Ajeng
Roman d'amourKisah Ajeng Anindita Maheswari Ajeng pada akhirnya menyadari bahwa berpikir realistis tentang cinta adalah hal yang terbaik. Meskipun pada mulanya dia menyukai Lintang, tapi ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. Lagi pula cinta Ajeng terhadap L...