04 || Memilah Memilih

7 1 0
                                    

Semesta, 2024


        “Bu, Jingga balik kelas dulu,” kata gue pamit ke Bu Fitri.

Kaki gue melangkah keluar, walau agak gak rela ninggalin syurga ini tapi gue tatap jalan buat balik ke kelas karena bel masuk yang udah bunyi tadi.

“Woy.” Gue awalnya gak mau menoleh karena gue pikir orang ini bukan nyapa gue. Tahunya cewek dengan rambut panjang yang dikuncir itu mendekat dan mengambil posisi disamping gue.

Gak tahu datang dari mana. Kayak jelangkung aja.

“Jingga, gue gak nyangka deh lo bisa dekat sama Aji.” Cewek dengan rambut terikat itu bikin gue hampir terlonjak. Untung gak menabok dia pake novel tebal yang lagi gue pegang sekarang. “Gue tahu sih, Aji anaknya kayak gimana, tapi serius, dari manapun gue lihat, lo sama Aji kayak beda dunia. Mana mungkin bisa akrab.”

Cewek itu —atau bisa gue bilang teman sekelas gue, asik bermonolog tak mengindahkan gue yang dibuat hampir jantungan karena dia tiba-tiba mengungkit cowok itu.

“Lo kenal sama Aji sejak kapan? Dimana?” Cewek itu kerkaca pinggang, menatap gue dan menuntut.

Gue menghela nafas memutar bola mata jengah. “Kita sekelas kalo lo lupa, Tiwi,” kata gue ke cewek yang sering dipanggil Tiwi itu, setau gue.

“Tapi lo kayak udah kenal sebelum itu,” katanya tak percaya. Dia justru malah menghadiahkan gue tatapan penuh curiga. “Terus waktu itu apa? Gue lihat Aji narik tangan lo dan—”

Gak tahu kenapa Tiwi gak melanjutkan kata-kata dia. Tapi tetap aja, kalimat gak selesainya bikin gue hampir mematung kalo gak langsung tersadar. Overthinking, gue gak bisa nahan buat gak mikir, apa dia lihat perdebatan gue sama Aji hari itu?

“Lo punya hubungan rahasia ya sama dia?” tanya Tiwi lagi bikin gue pengen banget kabur dan dorong dia karena kebanyakan nanya.

Kayaknya kesialan gue masih berlanjut. Setelah hari itu diusik cowok-cowok nyebelin, hari ini ganti yang cewek bikin gue puyeng.

Tiwi, atau Pratiwi, teman sekelas gue. Sejak pertama kali gue lihat dia masuk kelas, hal pertama yang muncul di otak gue adalah, jangan pernah berurusan sama dia.

Kenapa? Karena cewek ini emang udah terkenal dengan kehebohannya sejak kelas 10 dulu. Gue sebagai orang yang pengen hidup tenang jelas gak mau punya urusan apapun apalagi harus sampe punya masalah sama dia. Karena gak ada hal yang akan menguntungkan buat gue.

Terlebih sifat blak-blakan dia yang kadang mirip kutu loncat karena selalu sibuk sama urusan orang lain.

“Lo suka sama Aji?” tanya gue sengaja membelokan topik.

Berhasil. Tiwi langsung tersentak dengan pupil mata melebar. “Nggaklah!” kata dia tegas.

“Yaudah jangan mikir yang aneh-aneh. Gue gak ada hubungan apa-apa sama dia. Kita juga gak akrab-akrab banget,”

“Nggak-nggak, maksudnya gue salut gitu sama Aji, cakupannya bukan cuma kenal sama tukang parkir di caffe depan anjay, tapi lo juga.”

“Hah? Apasih?”

Emang definisi gue di mata dia apaan?

Gue heran kenapa Tiwi mikir kalo Aji kenal tukang parkir itu biasa ketimbang dia yang bisa kenal sama gue. Gue lebih aneh untuk dikenal Aji maksudnya?

Gak. Ganti perumpamaan nya. Maksud gue kenapa aneh kalo orang bisa kenal sama gue? Sama Prajingga Mentari?

“Soalnya lo kan gak mau temenan sama siapa-siapa. Jadi gue agak kaget, terus salut ternyata Aji se-pro itu sampe bisa bikin lo jadi teman dia.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang