03 || Udang di Balik Batu

7 1 0
                                    

Semesta, 2024





Hulft.

Gue gak tahu udah berapa kali gue melengos hari ini. Dalam seminggu rasanya hari sial gue bukan cuma Rabu sekarang. Seharian berturut-turut ditimpa hal sial. Gue kayaknya harus mandi kembang tujuh rupa deh.

Tapi terlepas dari buang sial. Ketemu sama Aji kemarin, bikin gue jadi inget awal-awal masuk ke sekolah ini. Gimana susahnya dulu gue buat menghindari cowok itu karena tahu kita satu sekolah. Walau pada akhirnya itu cuma bikin ribet diri gue sendiri. Karena gue tetap ketemu sama dia, bahkan pas kelas 11 kita berakhir bertemu dalam satu kelas yang sama.

Emang, cara semesta bercanda kadang selucu itu.

Gue udah gak menghindari dia sejak kelas 10 dulu. Tapi tetap aja tiap Aji ada di presensi mata gue, rasanya jantung gue udah mau loncat dari tempatnya. Berasa kayak lagi ketemu Joker terus bakal dikejar sampai mimpi buruk. Padahal Aji cuma lewat doang.

Sebenarnya dia adalah orang yang malas untuk gue jelaskan. Karena pada akhirnya gue sama Aji tetap baik-baik aja. Bukan, Aji yang baik-baik aja. Sementara gue nggak.

Gue kembali menghela nafas menaruh buku ke dalam rak yang sesuai terus lanjut lagi jalan sambil bawa keranjang buku yang tinggal lima di sana.

Hari ini pun gue masih jadi babu perpustakaan. Gue gak paham kenapa awal semester udah banyak jam kosong, tapi gue gak begitu peduli karena sebenarnya cukup bersyukur gue bisa menghindari 'orang itu' lagi untuk sementara ini.

"Mau gue bantu?" Tawaran atau mungkin celetukan dari seseorang bikin gue terlonjak. Bahkan hampir aja gue menggulingkan keranjang buku saking kagetnya.

"Eh, sorry, sorry," ucap dia merasa bersalah saat gue memegang dada terjatuh dramatis. "Lo gak apa-apa?"

Gue menguasai diri sambil mengangguk, "Oke kok."

Harusnya dia kakak kelas gue sih karena ada tag kelas berwarna merah di lengan kirinya berbeda dengan gue yang berwarna abu-abu. Jadi gue memilih untuk gak berkata asal di depan dia karena gak mau di panggil gak sopan.

"Gue gak bermaksud ngagetin, tapi dari gue masuk lo udah ngelengos tujuh kali, makanya gue nawarin bantuan siapa tahu bisa ngeringanin beban lo."

Gue melirik sekilas tag nama di baju dia, Mega Diandra yang gue temukan. Gue gak kenal, tapi gue rasa dia lagi bingung nyari buku.

"Eum, gak apa-apa kak. Gak usah, ini udah selesai kok," kata gue mencoba seramah mungkin. "Kakak lagi nyari buku? Maaf tadi saya gak fokus."

"Eung, kita boleh jangan pake bahasa formal gak sih? Lo-gue aja gak apa-apa," kata dia, kaku dengan gue yang tiba-tiba baku.

Gue mengangguk walaupun ragu. "Ada perlu apa ya kak?" tanya gue akhirnya.

"Sebelumnya kenalin, gue Mega. Manajer futsal," kata cewek yang tingginya hampir sama dengan gue itu menjulurkan tangannya ramah.

"Jingga..." Gue dengan bingung serta ragu membalas perkenalan formal itu.

Ngapain manajer futsal tiba-tiba mengenalkan diri sama gue sekarang?

Hidup gue seminggu ini beneran gak jelas deh. Kayaknya gue emang harus mandi kembang pulang sekolah nanti.

"Gue mau minta maaf sebelumnya buat kejadian kemarin," kata Kak Mega bikin gue jidat gue mengernyit. "Emang cowok-cowok futsal tuh otaknya pada di dengkul, pasti lo kemaren kaget banget disuruh perkenalan diri kayak gitu. Gue aja pas tahu alasan Aji marah-marah, jadi ikut malu sama kebodohan mereka. Sorry ya," jelas kak Mega sambil meminta maaf sekali lagi.

Gue sempet gagal fokus sama ucapan kak Mega, ngapain Aji marah-marah? Tapi gak peduli lagi karena itu urusan dia.

"Eh, nggak kok, gak apa-apa," kata gue walau sebenarnya bingung dengan dialog yang agak aneh sekarang.

Karena buat apa juga manajer futsal ini repot-repot minta maaf ke gue gini. Padahal lupain aja semua urusan kelar. Daripada gini justru gue jadi awkward. Bingung harus ngerespon apa.

"Aji bilang lo anaknya gak enakan, terus hampir aja lo di tumbalin buat jadi manajer baru karena si bego Randi maksa-maksa lo ngenalin diri."

Gue menipiskan bibir. "Aji nyuruh lo buat nyamperin gue kak?" tanya gue gak bisa menahan diri buat gak curiga sama cowok itu.

"Eh, nggak. Nggak kok, bukan. Sumpah." Kak Mega sontak langsung menggeleng dengan tangan melambai ribut. "Lo jangan ngomong sama Aji ya kalo gue nyamperin lo sekarang. Gue gak ada maksud apa-apa kok, gue serius mau wakilin yang lain buat minta maaf."

Gue mengela nafas sebelum akhirnya balas Kak Mega dengan tenang. "Tenang aja, Kak. Gue gak akan ngomong sama dia kok."

Lagian, buat apa juga?

Gue berjalan santai masih bergerak untuk menuntaskan kerjaan gue. Kak Mega juga dengan lucunya mau ngikutin gue dibelakang sambil gak abis-abisnya bilang maaf.

"Sebenarnya tuh ya, kita emang lagi nyari orang yang mau gantiin gue. Gue udah kelas 12, dan lo tau sendiri kegiatan anak tingkat 3 sebejibun apa. Lagian emang udah waktunya juga buat gue out dari futsal. Jadi mungkin itu penyebab anak-anak pada salah ngira ke lo."

Gue bergumam gak jelas sambil manggut-manggut menanggapi kata-kata Kak Mega. Gak tahu kenapa dia malah buka sesi curhat. Dan gue juga gak tega buat negur apalagi lihat muka dia yang gak kalah memprihatinkan.

"Yah kemungkinan besar anak futsal taun depan gak punya manajer sih kayaknya." Kak Mega mendecak kecewa, tapi gue cuma diam gak merespon dia untuk kali ini.

"Sebenarnya gue gak ada maksud apa-apa sih ketemu sama lo, gue takut lo kena mental aja," kata Kak Mega lagi yang entah kenapa justru bikin gue terkekeh.

"Yakali. Udah lah kak, kasian mereka jangan dimarahin terus." Gue selesai dengan menyimpan kembali buku ke sesuai rak nya masing-masing. Lalu berjalan ke meja pinjam, diikuti kak Mega juga.

"Ya abisnya. Lo tau? Sebelumnya udah ada beberapa orang yang mau jadi manajer futsal dan gantiin gue, tapi kabur karena takut sama mereka," kata Kak Mega mencak-mencak. "Emang kelewat spesial kelakuan mereka, mana ada sepuluh lagi. Gue dulu kenapa mau ya pas Kak Dian ngajak gue"

"Lo frustasi banget ya Kak kayanya?" tanya gue sambil terkekeh.

"Ya sebenarnya gak terlalu bikin frustrasi juga. Gue frustasi karena gak ada yang mau gantiin posisi gue, sementara gue gak bisa terus dampingin mereka kan? Teman-teman gue yang lain aja udah pada cabut dari futsal, tinggal gue doang yang kelas 12 disana."

Kak Mega merenggut terlebih gue gak merespon dia cuma bagian ketawa-ketawa kecil seolah cerita kak Mega itu lucu. Tapi sebenarnya gue lagi ketawa karir karena beneran bingung mau merespon apa.

"Eh tapi, lo tertarik gak buat jadi manajer? Kerjanya gampang kok cuma ngurusin data-data mereka doang."

Hah? Gimana?

Hah? Gimana?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang