•1•

25 17 0
                                    

Matahari terasa lebih dekat setelah sepekan ia berada di sini, perbedaan cuaca jelas saja membuatnya sedikit banyak harus beradaptasi. Pindah dari kebiasaan cuaca sejuk, datang ke tempat yang tetap menghantar rasa panas meski banyak pohon di sekitar.

"Kenapa kakinya?"

Gadis yang sedang mengoleskan bodyserum di area mata kaki itu menoleh, dia tersenyum setengah menahan hawa yang belum bisa ia pahami.

"Panas banget di sini, Bapak. Apalagi kalau udah siang begini," ujarnya.

Lelaki di samping tersenyum sembari mengangguk, ia sudah menduga akan keluhan anak pertamanya yang belum pernah bertemu dengan cuaca seterik ini.

"Di sini panas mataharinya dua kali lipat dari di Jawa, tapi masih mending ... Papua malah empat kali lipat dari di sini."

"Aku nggak sanggup kayaknya, tapi kalau misal rumah bukan papan bakal lebih dingin mungkin, ya?"

"Iya, apalagi di sini atapnya seng. Kalau siang panas, kalau malam sampai menjelang subuh dinginnya minta ampun."

Gadis itu mengangguk, sepakat dengan kalimat yang diberikan lelaki berlabel Bapak di sampingnya ini. Ia baru sepekan dibawa ke pulau lain, meninggalkan rumah, teman dan segala kenangannya.

"Jadi, gimana? Masih ada komunikasi?"

Binar yang semula terang, perlahan meredup bahkan mengalihkan pandangan. Jawabannya sangat mudah, karena semua baik-baik saja tapi entah kenapa rasanya ada yang aneh.

"Kamu nyesel Bapak nggak setuju kalian nikah siri?"

Gadis itu menggeleng. "Aku yang bakal nyesel kalau sampai nggak ikut ke sini dan daftar kuliah."

"Semoga dia sabar, ya. Empat tahun itu nggak lama kalau kalian bisa menjaga komitmen dan ritme hubungan yang menyenangkan. Kuncinya ... komunikasi."

Komunikasi. Itu yang sering ditekankan gadis ini juga pada kekasihnya, meski semenjak tiba ia hanya bisa bertukar kabar melalui pesan singkat berbayar. Di sini tidak ada jaringan selain Telkomsel, jadi ia terpaksa memakai nomor orang tuanya untuk menghubungi sosok yang tiga bulan belakangan hadir di kehidupannya.

"Foto siapa, Mbak?"

Pandangannya teralihkan. "Mbak sama Mas yang kemarin."

"Kenapa dipajang di sana?"

"Bapak bilang biar ada jawaban semisal ada yang tanya soal Mbak."

Gadis kecil yang duduk di bangku Sekolah Dasar itu mungkin belum menangkap maksud dari sang kakak, tapi rupanya ia enggan melanjutkan pertanyaan setelah melihat ada teman yang datang. Pandangannya kembali ke foto yang sempat mereka ambil di salah satu tempat wisata, senyum yang saling mengisi tampaknya cukup membuat hubungan mereka bahagia.

Ia juga sempat bertanya pada Bapak, kenapa foto ini harus dicetak besar dan dibuatkan bingkai untuk dipajang di ruang tamu.

"Bawa anak perempuan seusia kamu ke kampung ini cukup sulit, tidak hanya tetangga yang punya anak laki-laki bahkan kadang kenalan Bapak yang sering main juga pasti akan menawarkan diri meminta kamu."

Bergidik ngeri, Alinea merasa beruntung memiliki orang tua yang paham bahwa kebahagiaan anak adalah milik mereka sendiri. Perihal jodoh dan pasangan, kelak saat dewasa bisa memilah dan memilih meski tidak selalunya benar. Jadi, perjodohan itu sama sekali bukan solusi.

"Len, sini makan!"

Alinea beranjak saat mendengar suara ibunya, meninggalkan ruang tamu yang terasa kosong karena tidak memiliki kursi. Di sini semua melantai, sebab rumah panggung akan terasa aneh jika ditambahkan barang-barang yang lebih tinggi.

A Piece of StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang