Pasir di gurun berbeda dengan pasir di pantai. Meski sudah lama tidak tinggal di Nahroon, aku masih ingat tekstur lembutnya pasir saat berada di sela jemari kakiku. Di pantai, paling tidak di pantai yang ini, pasirnya kasar dan tercampur dengan berbagai hal yang bukan pasir—potongan cangkang kerang, potongan batu karang, dan hal-hal lainnya yang tak kumengerti. Meski begitu, saat aku berada di tempat di mana pasir bertemu dengan air dari lautan, jantungku berdebar-debar. Bukan sejenis debaran yang kurasakan saat aku takut, atau debaran yang kurasakan saat aku tahu ada yang salah, melainkan sejenis debaran yang kurasakan saat aku menginjak pasir gurun. Seolah aku tahu aku berada di tempat yang tepat dan menuju sebuah hal yang tidak pasti menanti di depan.
Amir menepati janjinya. Sebuah kapal telah menanti kami begitu kami tiba di pantai. Bukan kapal dagang, karena tidak ada barang-barang dari luar negeri maupun pada pedagang di atasnya. Bukan pula kapal bajak laut. Meski sebenarnya aku tak terlalu yakin soal hal itu. Aku belum pernah melihat kapal bajak laut sungguhan.
Pagi tadi aku masih sibuk seperti biasa. Selepas salat Subuh dengan Zulaikha, aku melakukan rutinitasku seperti biasa, memasak, membangunkan para tamu, menawari mereka kopi dan sarapan, menyapu, mengepel, menyiapkan makanan dan kopi, juga menyiapkan sarapan untuk Zulaikha dan Zabrina. Ibu tiriku tampak murung saat memakan sarapannya. Meski Zulaikha sudah membayar seseorang untuk menemani Zabrina dan melakukan pekerjaan yang selama ini kulakukan, Zabrina sempat menyinggung betapa dia akan sangat merindukan sarapan buatanku. Aku tidak membenci Zabrina, tapi untuk saat ini aku merasa bahagia terlepas darinya. Seolah aku sedang dibebastugaskan dari pekerjaanku memanjakan ibu tiriku yang tak pernah melakukan apa pun sebagai seorang ibu.
Seorang wanita muda menghampiri kami. Aku tak bisa memastikan berasal dari negara mana wanita itu karena seluruh wajahnya—kecuali mata—ditutupi dengan sehelai kain berwarna biru, sewarna dengan matanya. Dia mengenakan tunik panjang khas orang-orang Masaa berwarna kelabu yang dipadupadankan dengan celana longgar berwarna putih tulang. Secara keseluruhan, dia memang berpakaian layaknya orang Masaa, tapi aku tahu dia orang asing hanya dengan melirik beberapa helai rambut keemasan yang mengintip dari balik kain penutup kepalanya.
"Assalamualaikum," sapanya dengan logat kami yang sempurna.
"Waalaikumsalam," jawabku dan Zulaikha.
"Perkenalkan, saya Lyana yang akan membawa kalian berdua menyebrangi laut Al-fayruz menuju Shabah." Wanita itu menjabat tangan kami. Tangannya dingin.
"Aku Laela, dan ini adikku, Zulaikha."
Lyana kemudian menjabat tangan Zulaikha yang kini sedang tersenyum kaku. Sepertinya ada banyak pertanyaan yang Zulaikha tahan saat ini dan dia tidak membisikkan pertanyaannya padaku demi kesopanan pada wanita ramah yang ada di hadapan kami ini.
Aku hanya mengatakan pada Zulaikha bahwa temanku punya seorang kenalan yang memiliki kapal dan dapat membawa kami ke Shabah dengan gratis. Zulaikha setuju untuk melewati jalur laut alih-alih jalur darat karena dia tahu soal beberapa kasus badai pasir di Nahroon. Sepertinya berita itu kini sudah menjadi konsumsi khalayak umum.
Kami berdua menaiki kapal itu dengan dibantu oleh Lyana dan ketujuh putrinya. Kupikir wanita seusia Lyana yang menaiki kapal dan bebas pergi ke mana pun pasti belum menikah. Ternyata aku salah. Dia bahkan sudah memiliki tujuh orang putri yang satu sama lain tampak sangat berbeda. Dan tak ada satu pun yang mirip dengan Lyana maupun suaminya.
Suami Lyana tampak sepenuhnya seperti orang asing. Seperti orang-orang suku Baydhaa'u jaman dahulu dengan kulit putih bersih dan mata berwarna terang. Dia tidak memberitahu kami namanya, hanya mengatakan bahwa kami bisa memanggilnya dengan Asad. Jelas sekali itu bukan nama aslinya.
Kapal tidak berlabuh terlalu lama. Selain kami, ada sepasang suami istri yang sepertinya adalah turis dari negeri lain, dan sekitar lima orang wanita yang juga menumpangi kapal ini. Aku tidak terlalu mengerti soal kapal, tapi setahuku seharusnya ada lebih banyak lelaki di kapal ini untuk membuatnya berlayar mengarungi lautan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Before The Clock Strikes Twelve
Historical Fiction"Sebelum jam berdentang dua belas kali pada tengah malam ini. Hanya itu waktumu. Kalau kau gagal dalam misi ini, kau akan mati." Bagaimana jika Cinderella tidak hidup dalam dongeng? Bagaimana jika dia adalah anak yatim yang bekerja di mansion milikn...