Sepanjang sisa hari aku sibuk melayani para pelanggan di kedai dan tamu di penginapan kami, juga membantu Zulaikha memilih-milih gaun kaftan yang akan dia kenakan untuk pergi ke pesta pangeran. Zabrina tampak sangat bersemangat hingga dia lupa mengomeliku saat aku lupa mengantarkan makan siangnya. Paling tidak keberadaan Zulaikha di rumah ini sanggup membuat Zabrina bersikap lebih baik padaku.
Matahari terbenam dengan megah di laut Al-fayruz. Kilaunya di atas garis lautan melukiskan aneka warna di langit, violet, merah muda dan emas. Dari tempatku membersihkan gelas-gelas kotor, aku menatap cakrawala penuh kerinduan. Terkadang aku berangan-angan bagaimana rasanya pergi meninggalkan rumah ini dan menaiki salah satu kapal dagang itu untuk pergi ke negeri yang jauh, ke tempat-tempat yang belum pernah kudatangi. Akankah langit keemasan di laut terlihat jutaan kali lebih indah? Akankah laut Al-fayruz benar-benar sewarna permata zamrud? Aku sering kali mendengar obrolan para pelaut dan nelayan yang singgah di kedaiku. Mendengar kisah-kisah mereka yang jauh lebih mirip seperti dongeng belaka tentang makhluk-makhluk besar yang bersembunyi di bawah kapal mereka, pulau-pulau misterius yang tidak berpenghuni namun sangat indah, bajak laut dengan kapal hantu, dan tentang Shabah, daratan dengan seribu satu kisah.
Sebenarnya Shabah tidak sejauh itu seandainya kami tidak perlu melewati dua perbatasan yang dijaga ketat oleh para tentara Sultan Arshiya dan sebuah padang pasir luas yang konon banyak menelan korban. Tidak, bukan sekedar 'konon', tapi padang pasir Shakilaa di Nahroon memang sudah banyak menewaskan orang. Abi termasuk salah satunya.
Ada sesuatu di padang pasir itu yang membuat Sultan takut seseorang mengambilnya. Sesuatu yang tampaknya sangat berbahaya dan kuat hingga Sultan tak dapat memilikinya. Sesuatu yang sangat berharga sampai Sultan merasa harus mengusir semua orang dari Nahroon dan menganggap semua yang melintasi padang pasir Shakilaa sebagai pemberontak. Semua yang melewati padang pasir tak pernah kembali. Dan hal ini sudah berlangsung sejak sebelum aku lahir, bahkan mungkin jauh sebelum itu. Hanya saja hal ini menjadi semakin serius ketika aku baru lahir dan baru mengenal dunia. Ibuku tewas dalam usaha Sultan mengusir semua penduduk asli Nahroon, sedangkan ayahku meninggal karena melewati padang pasir Shakilaa saat akan berdagang di Shabah.
Midnight didirikan untuk membela rakyat yang terusir, rakyat yang dirampas haknya dan rakyat yang seperti diriku, yang keluarganya terbunuh oleh 'badai pasir'. Awalnya hanya ada aku dan Amir. Tapi ternyata ada banyak orang selain kami berdua yang merasakan ketidak adilan di gurun ini. Midnight pun berkembang pesat hingga kini anggotanya ada lebih dari tiga puluh orang dan dari beragam tempat.
Tapi yang berkumpul di ruang bawah tanah kedaiku malam ini tidak mencapai setengahnya. Jika tidak ada perintah berupa puisi dari Qalam Emas di koran Ash-Shiddiq, hanya beberapa dari kami saja yang akan berkumpul di ruang bawah tanah kedaiku. Sisanya akan berusaha untuk merahasiakan keberadaan kami dengan tidak melakukan apa pun yang mencurigakan.
Ruangan itu cukup luas untuk dapat menampung hingga tiga puluh orang. Awalnya hanya berupa gudang kosong yang Abi gunakan untuk menyimpan peralatan membuat sepatu dan sepatu-sepatu hasir karyanya. Semenjak Abi tiada, tidak ada lagi yang membuat sepatu. Tapi peralatannya masih tertata rapih di salah satu sudut ruangan ini. Cahaya lampu temaram menjadi satu-satunya sumber pelita di antara kami. Sebuah meja besar mengisi bagian tengah ruangan, tempatku dan seluruh anggota Midnight menaruh surat dari Amir, koran Ash-Shiddiq keluaran terbaru, peta, atau apa pun yang dapat membantu kami menjalankan misi demi misi yang selama ini kami kerjakan. Beberapa senjata seperti pedang simitar kuno khas Arshiya, pisau belati besar, pistol, hingga busur dan anak panah milikku tergantung di seberang meja. Kami akan selalu siap jika utusan Sultan sampai di tempat ini.
"Mari jangan berkumpul terlalu lama. Aku tidak mau adikku melihat," ucapku pada sebelas orang lainnya yang berkumpul di ruangan ini. Hampir sepanjang pesisir Masaa sudah tahu bahwa Zulaikha, putri Zabrina, telah kembali ke kampung halamannya. Termasuk seluruh anggota Midnight.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before The Clock Strikes Twelve
Fiction Historique"Sebelum jam berdentang dua belas kali pada tengah malam ini. Hanya itu waktumu. Kalau kau gagal dalam misi ini, kau akan mati." Bagaimana jika Cinderella tidak hidup dalam dongeng? Bagaimana jika dia adalah anak yatim yang bekerja di mansion milikn...