1. Aryan dan Dunia Malam

44 0 0
                                    

[18+]: Cerita ini memuat adegan kekerasan dan kata-kata tidak pantas. Harap bijak dalam memilih bacaan!

*****

Cahaya neon berkedip-kedip menari di dinding, memantulkan siluet para penari yang bergerak liar di lantai dansa. Musik elektronik menggema, bas yang kuat berdetak sinkron dengan detak jantung, sementara DJ memainkan trek tanpa henti.

Gang sempit yang dekat dengan area clubbing, bersembunyi kumpulan remaja laki-laki perokok. Ribuan puntung rokok dibuang sembarangan di sana. Persembunyian ini merupakan tempat mereka melangitkan kebebasan, melupakan lelahnya menjalani hidup walau sejenak, hingga harapan tidak masuk akal yang tidak mungkin direstui Tuhan.

"Seandainya dosa itu enggak ada, dosa apa yang ingin kalian coba?" celetuk Rinaldi setelah selesai menyesap rokok terakhirnya.

"Gue ingin bunuh diri," jawab Stevano.

Mendengar jawaban Stevano, Rinaldi menunjukkan simpatinya dan menanyakan alasan dibalik keinginannya itu. Stevano mengungkapkan seandainya waktu bisa diulang, dia ingin membelikan nasi kuning untuk ibunya agar ibunya terhindar dari bencana gempa bumi.

"Namanya waktu enggak bisa diulang, 'kan? Setidaknya gue bisa menyelamatkan ibu gue saat itu," ujar Stevano tertawa kecil sambil menghibur dirinya sendiri.

"Kalau Aryan, gimana?" tanya Rinaldi.

Aryan Pramuja, remaja 17 tahun berwajah tampan namun salah pergaulan tengah duduk menyesap rokoknya tanpa henti. Di antara kelompok lain, Aryan paling parah candunya. Dia juga gemar menonton video porno.

"Yan, lo nonton bokep lagi?" tegur Chandra yang asyik main gim di sebelahnya.

Aryan mengangguk, kemudian meletakkan ponselnya di saku celana. Kebiasaan Aryan menonton porno sudah dimaklumi kelompok perokok. Belakangan konsumsi alkoholnya sudah diluar nalar dan Aryan impotensi sementara. Maka untuk menguji disfungsi ereksinya, Aryan mencoba menonton video porno untuk membangkitkan kembali syahwatnya.

Rinaldi bertanya, "Masih enggak bisa ngaceng?"

"Bisa, tapi enggak bertahan lama."

Menyangkut topik yang sedang Rinaldi bahas malam ini, Aryan pun buka suara. "Sebenarnya dengan gue nonton porno pun sudah berdosa ya, 'kan? Tapi gue pengen nyoba pacaran sama cowok, sih."

"Wah, itu sih udah kelewatan, Yan! Emang di dunia ini kurang cewek apa?" kata Stevano.

"Tenang aja, Van. Dia 'kan hanya berandai. Kalian semua juga pasti punya hasrat terpendam ingin melakukan dosa, 'kan? Dengan kita bersembunyi di sini pun sebenarnya sudah berdosa. Dekat tempat clubbing pula," ujar Rinaldi.

Masing-masing kelompok mengamini ujaran Rinaldi. Hanya berandai dan tidak mungkin dilakukan.

"Hanya ada satu cara yang bisa dilakukan. Terlebih kalau umur sudah legal. Kita akan bersiap-siap melepas Aryan untuk masuk clubbing malam ini!"

"Lo serius, Bang?" tanya Aryan ke Rinaldi.

"Tentu saja, Yan. Kali ini lo enggak perlu lagi membayangkan kegembiraan dunia malam seperti gue dan Stevano sering ceritakan. Lima belas menit lagi lo bakal genap 18 tahun!"

Senyum semringah menghiasi wajah Aryan. Dunia malam yang diimpikannya sudah di depan mata. Sudah hancur batasan umur antara dirinya dan kehidupan malam. 11 September, tanggal Aryan dilahirkan ke dunia. Tanggal ini pula yang akan mengantarkannya untuk menyambut kehidupan baru.

Sebelumnya wajah Aryan dikenali pengawas clubbing. Rinaldi memberitahu pengawas bahwa hari ini Aryan resmi berumur 18 tahun.

"Mana KTP-mu?" tanya pengawas.

Bukannya memberi KTP, Aryan malah memberi segepok uang. Sebetulnya jika ingin masuk clubbing, Aryan sudah bisa lakukan jauh-jauh hari tanpa harus menunggu 18 tahun. Pengawasnya bisa disuap kapan saja. Tetapi karena Aryan adalah anak dari seorang donatur tempat dia bersekolah, pengawas wajib lapor ke orang tuanya. Kebetulan Papa Aryan punya koneksi dengan pemilik clubbing itu. Aryan adalah anak yang jauh dari figur ayah sehingga setiap tindakannya harus diawasi.

"Jangan biarkan Aryan masuk kalau belum 18 tahun!"

Begitu pesan Papa Aryan ke Syaiful, si pengawas clubbing satu tahun lalu. Malam ini Papa Aryan menghubungi Syaiful. Telepon kemudian disambungkan ke Aryan.

"Apalagi kekacauan yang kamu lakukan hari ini, Aryan?! Papa sudah muak mengurusi kamu!"

"Tenang aja, Pa. Aku sudah 18 tahun hari ini. Enggak ada yang perlu Papa khawatirkan lagi," jawab Aryan santai.

"Kamu itu sudah menghabiskan banyak uang! Bisa tidak kamu turuti Papa sekali saja?"

"Enggak usah bersikap seakan-akan lo Papa kandung gue! Lo yang menginginkan gue, tapi elo juga menghalangi hidup gue. Tetep akting aja kayak biasanya. Gue bersikap baik di depan bini lo dan anak sambung lo, lo juga lakukan hal sebaliknya. Oke?"

"Berengsek!"

Ponsel dikembalikan ke Syaiful, Aryan dirangkul Rinaldi dan Stevano masuk klub.

Cahaya neon menyala, menarik para pengunjung ke lorong-lorong kehidupan malam yang menjanjikan kebebasan dan pelarian. Di balik pintu klub malam yang berderit, musik bergema, berpadu dengan suara tawa dan percakapan yang riuh. Di lantai dansa, orang-orang menari, mencoba melupakan masalah mereka atau mencari sesuatu yang mungkin tidak pernah mereka temukan.

Di balik senyum dan tawa, banyak yang berjuang dengan rasa kesepian dan pencarian akan identitas, terjebak dalam siklus yang tampaknya tak berujung. Dalam kehidupan malam yang gelap dan menyesatkan, orang-orang mencari makna dan mencoba untuk membuat perbedaan.

Seakan telah menyatu pada dunia malam yang gelap, Aryan keluar dalam keadaan mabuk berat. Waktu bermanfaat untuk belajar atau mengisi energi dengan tidur di rumah dia habiskan dengan bincang-bincang dan menari bersama para wanita seksi.

Seperti bumi dan langit, demikian Baskara, anak sambung Papa Aryan memantaunya dari dalam mobil. Papa Aryan memerintahkan Baskara menjemput anak kandungnya pulang. Dengan tubuh atletis, penampilan serba hitam, Baskara mengenakan topi dan siap menjemput saudara tak sedarahnya itu. Syaiful telah dihubungi Baskara sebelumnya agar segera mengeluarkan Aryan dari kelab, karena sudah melebihi batas waktu anak remaja di luar rumah.

Dengan kondisi sempoyongan, Aryan menghampiri Baskara sembari berpegangan pada benda-benda di sekitarnya. Langkahnya tidak stabil sebab minum terlalu banyak alkohol. Wajah Aryan merah. Rambutnya acak-acakan. Dengan wajah lurus, tatapan yang dingin, Baskara bersuara, "Kita pulang, Mas."

"Siapa lo? Buat apa lo ke sini? Gue masih betah di sini, anjing! Siapa yang nyuruh lo ke sini?"

"Papa," jawab Baskara.

"Anjing lo!"

Dengan tubuh lemahnya Aryan berusaha menghajar Baskara, namun ditangkisnya cepat. Aryan tidak berdaya, kemudian membelakangi Baskara dan memuntahkan isi perutnya. Baskara membetulkan topinya dan mengembuskan napas berat menyaksikan Aryan muntah-muntah.

"Ayo, Mas. Kita pulang sekarang."

Lengan Aryan digenggam, Baskara membaringkannya di jok belakang. Meskipun dia tahu Aryan benci padanya, Baskara tidak pernah tersinggung atau marah. Baskara pikir itu wajar. Tidak sepantasnya dia mengambil tempat di hati Papa lantaran dia hanya anak sambung. Baskara menyimpan kecewa juga pada Papa, karena bukannya mengharamkan Aryan pergi clubbing tidak peduli umurnya sudah legal atau belum, tapi malah diperbolehkan jika Aryan sudah berumur 18 tahun.

Kadang Baskara mempertanyakan, mengapa dia dihadapkan pada situasi serumit ini? Mengapa pula dia harus hidup bersama keluarga yang red flag. Dia bahkan mempertanyakan apakah dia masih waras sehingga harus berakhir di keluarga ini.

"Mengapa ujian yang kau berikan padaku harus seberat ini, Tuhan?" lirih Baskara.

Cinta yang Melampaui BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang