6. Maya's First Kiss

30 0 0
                                    

[18+]: Cerita ini memuat adegan kekerasan dan kata-kata tidak pantas. Harap bijak dalam memilih bacaan!

*****

Lembur malam berakhir menjadi drama antara Maya dan Baskara. Lelaki itu tidak habis pikir. Mengapa Maya masih ngotot mengejarnya, padahal dia tahu dirinya tidak akan pernah berpaling. Dari sudut pandang Baskara, berpindah ke lain hati tidak semudah memindahkan air botol ke gelas. Sementara Maya berpikir, apa salahnya mencoba dahulu. Jika tidak dicoba, mana tahu hasilnya seperti apa. Tetapi seperti yang Baskara bilang sebelumnya, dia dan Maya tidak akan pernah bisa bersatu. Sebab bila dipaksakan, maka hanya akan menyakiti hati masing-masing.

“Dari mana lo tahu bahwa hal itu akan menyakiti kita berdua? Kita bahkan belum pernah mencobanya, Bas!” bantah Maya, seakan-akan dia tidak peduli luka yang akan menantinya di masa depan.

Move on, May!” jawab Baskara dengan nada tinggi.

“Untuk apa? Lo bahkan enggak pernah mengizinkan gue singgah di hati lo. Gue mau coba, tapi lo usir gue duluan,” singgung Maya.

Penampilan Maya memang sudah jauh berbeda dibandingkan dulu. Maya yang dahulu enggan menggerai rambutnya kini membiarkannya panjang, bahkan menyemirnya dengan warna kuning sehingga menyala terang begitu tersorot lampu jalan. Penampilan boleh feminin, tapi jiwa tidak boleh cengeng. Maya selalu berprinsip seperti itu. Dia tidak boleh menye-menye seperti perempuan kebanyakan yang langsung menangis setelah ditolak, sebab di dunia masih banyak laki-laki.

Maya memperhatikan kembali luka di pergelangan tangan Baskara. “Gue tahu waktunya enggak tepat, tapi izinkan gue melakukan satu hal. Gue mau obatin luka lo. Boleh, ya?”

Terus terang Baskara sudah malas melayani Maya. Lihat saja. Perempuan itu masih enteng mengobrol dengannya seperti tidak terjadi apa-apa. Begitu Baskara pikir lagi, omongannya kepada Maya tadi cenderung tajam dan tidak berperasaan. Tetapi kenapa dia tampak biasa saja?

Maya dan Baskara duduk dalam mobil bersama. Maya sengaja tidak pulang dulu, sebab ingin menghabiskan waktu bersama pria yang telah menolaknya itu. Maya mengambil korek kuping, cairan antiseptik, serta perbannya. Dia mulai membubuhi titik-titik luka pada tubuh Baskara tanpa merasa canggung. Lain halnya Baskara, berhadapan dengan seorang wanita dalam satu mobil membuat jantungnya berdebar. Bukan debar jatuh cinta, melainkan canggung.

“Gimana, Bas? Lo deg-degan?”

“Harusnya gue yang tanyain itu,” ucap Baskara dalam hati.

Maya Agnesia, yang bukan cuma seorang sahabat bagi Baskara, melainkan sosok perempuan ugal-ugalan yang nekat merampok hatinya. Baskara akui dia sangat dominan malam ini sehingga membuatnya bertanya, ke mana perginya maskulinitasnya di saat begini.

“Biasa aja.”

“Bohong,” kata Maya sehingga membuatnya bertindak semena-mena. Dia menekan kuat korek kuping pada titik luka Baskara sehingga lelaki itu menjerit kesakitan.

“May, pelan-pelan! Sakit, May!” keluhnya.

Merasa keluhannya tidak digubris, Baskara mengambil suatu tindakan. Berhubung rasa cinta gadis itu padanya masih subur, Baskara merampas korek kuping tersebut dan mendekatkan wajahnya ke Maya. Wajah gadis itu berubah merah. Ditatapnya lekat-lekat pahatan sempurna lelaki pujaannya.

Malam yang dingin berubah panas. Napas itu. Maya menghirup aroma kopi yang harum bercampur wangi cokelat dari tubuhnya. Ya, Baskara suka cokelat sehingga menggunakan parfum beraroma cokelat. Tubuhnya yang atletis, peluh mengucur, membuatnya terlihat sangat seksi. Gadis itu meneguk liurnya, menahan dirinya dari godaan kesempurnaan tubuh lainnya yang tengah bersembunyi dari balik kancing yang tidak menutup sempurna.

“Sekarang gimana? Apa lo deg-degan?” tanya Baskara menggodanya.

Maya tidak berkutik. Baskara merasa impas, sebab telah berhasil memperbaiki harga dirinya yang sengaja dijatuhkan Maya. Sepantasnya Maya tahu bahwa sekarang Baskara tengah mengombang-ambingkan perasaannya. Ini adalah ekspektasi yang diimpi-impikan Maya. Dia ingin sekali lelaki itu jatuh ke pelukannya. Bibir ranum itu satu-satunya tujuan Maya. Tanpa pikir panjang lagi, gadis itu mengamankan wajah Baskara. Bibir mereka bertemu dan itu diluar prediksi Baskara. Dia sadar sudah kelewat jauh menggoda Maya. Bukan ini yang dia inginkan, tapi semua sudah terlambat. Maya resmi mengamankan ciumannya dengan Baskara.

Ciuman lembut Maya dan Baskara berangsur menuju titik menggairahkan. Tangan Maya menjelajahi lekuk tubuh Baskara, berusaha menyingkirkan kancing yang menutupi keindahan raganya.

“Maya, stop!”

Wajah Baskara merah. Maya menggapai kesadarannya kembali. Ciuman panas itu berhasil keduanya redam. Baskara tidak bisa bayangkan keburukan seperti apa yang akan terjadi apabila perbuatan ini tidak dihentikan. Tenggelam dalam cinta satu malam? Sungguh perbuatan yang sangat buruk. Clara akan murka jika tahu perbuatannya. Baskara akan menjadi orang paling munafik sedunia, sebab nasihat-nasihat baik yang berusaha dia sampaikan untuk adiknya tidak sejalan dengan perilakunya sendiri.

Baskara membetulkan kancingnya, Maya memperbaiki rambutnya. Rencananya menumpang dengan Baskara urung Maya lakukan setelah menyadari perbuatan mereka malam ini. Seolah ada yang melarang mereka bicara, keduanya menjadi gagu. Maya berlari ke trotoar, melambaikan tangan kepada mobil yang lewat, kemudian pulang bersama taksi.

Baskara memukul kepalanya sendiri. Dalam pikirnya muncul sejuta andai yang tidak mungkin bisa dicegah lagi.

Andai gue enggak godain dia.
Andai gue biarin Maya pergi sendiri.
Andai aja Maya gue tinggal setelah dia ngomongin perasaannya ke gue.

Dan nasi sudah menjadi bubur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta yang Melampaui BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang