3. Perfect Changes

12 2 0
                                    


Malam itu sebelum Yevan dan sahabat-sahabatnya pergi dari Malang ke Surabaya, ia menyempatkan diri untuk membuat janji temu dengan Airen H-2 jam sebelum bis travel datang.

Entah apa yang membuat Yevan begitu menggebu-gebu untuk menemui Airen malam itu, padahal sudah hampir dua minggu sejak terakhir kali mereka bertemu. Mungkin karena Yevan merasa ada sesuatu yang penting ingin ia sampaikan kepada Airen.

Saat janji temu itu tiba, Yevan sudah menunggu di depan kafe terdekat dari hotel yang ia singgahi. Ia melihat Airen berjalan menghampirinya menggunakan payung transparan.

Malam itu memang hujan gerimis sejak sore, namun Yevan tetap ingin bertemu dengan Airen meskipun hanya sebentar. Mereka pun memesan segelas teh hangat dan duduk di sudut kedai yang nyaman.

"Jadi... Kamu berangkat malam ini?" suara Airen yang perlahan menguar membuat Yevan mendongak seketika menatap gadis itu yang tengah memainkan pinggir cangkir teh di hadapannya.

"Iya, malam ini aku berangkat. Kemungkinan sampai di Surabaya besok sore." Yevan menjawab sambil tersenyum lembut.

Airen mengangguk pelan. "Jangan lupa pakai sunscreen, di Surabaya panas." Airen menyarankan sambil tersenyum, "Dan... hati-hati ya disana. Jangan lupa makan teratur dan jaga kesehatan."

Yevan tersenyum mengangguk, "Terima kasih atas perhatianmu, Ren. Aku pasti akan menjaga diri dengan baik."

Yevan dengan canggung mengambil cangkirnya, menyesap dengan perlahan, matanya masih menatap Airen yang kini tengah memainkan tangannya.

Mereka berdua saling terdiam, hingga akhirnya Yevan mengambil nafas dalam-dalam, "Aku akan merindukanmu."

"Rindu? Kita baru aja ketemu." Airen tersenyum kecut.

"Entahlah, aku sudah merasa seperti kita bersama selama bertahun-tahun." Yevan menjawab lirih, matanya masih menatap tajam ke arah Airen. "Aku merindukanmu bahkan sebelum kita berpisah."

Airen mengangkat alisnya, terlihat bingung dengan jawaban Yevan. Namun akhirnya dia tersenyum, "Jangan bilang kalau kamu itu ngambil jurusan Filsafat atau sastra."

Yevan tertawa kecil, "Sayangnya, enggak. Aku mengambil jurusan berbeda."

Airen mengulum senyum. "Oh ya? Jurusan apa?"

"Manajemen, orang tuaku memaksa agar aku mengambil manajemen dan meneruskan bisnis mereka nantinya." Yevan menghela napas panjang, seolah tidak suka dengan hal itu.

Airen merasa iba, dia sudah tahu betapa Yevan tidak menyukai jurusan itu. "Kenapa kamu tidak menolak saja?"

"Aku anak semata wayang." Yevan tersenyum getir. "Mereka sudah sangat berharap aku meneruskan bisnis keluarga ini."

"Kamu gak pernah coba mengambil jalur lain?" Airen bertanya lagi, matanya menatap Yevan dengan serius.

Yevan menghela napas panjang, "Aku sudah mencoba. Tapi mereka selalu mengatakan bahwa bisnis ini sudah menjadi tanggung jawab keluarga yang harus aku lanjutkan."

Yevan tidak bisa menyembunyikan rasa frustasinya. "Jadi, aku hanya bisa menuruti mereka."

Airen memahami perasaan Yevan, dia tahu betapa berat hal itu. "At least kamu enggak pernah dilarang untuk melakukan ini itu kan? Mereka memikirkan masa depanmu juga. Ini adalah investasi yang penting. Kau akan mengerti manajemen."

"Kamu sendiri, Ren? Kamu kuliah atau kerja? Aku belum pernah tanya hal itu kan?" Yevan balas menatap tajam mata Airen.

Airen tersenyum kecut, "Kuliah sastra Inggris. Tapi aku juga bekerja di salah satu perusahaan sebagai penerjemah."

Pusaran Waktu |Revisi|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang