Assalamualaikum!Happy reading!
.
.
.Sedari tadi senyum pria bermata agak sipit itu tak pernah luntur. Setelah mendengar jawaban Arsyi yang ingin melaksanakan shalat dulu tentang hubungan mereka, dirinya jadi sangat bahagia. Itu artinya Arsyi mulai membuka hatinya untuknya, kan?
Masih teringat sangat jelas bagaimana ia bisa jatuh hati pada gadis itu. Selain karena ia terpana melihat wajah gadis itu, ia juga kagum dengan akhlaknya. Pertemuan pertama mereka di dekat alun-alun kota, saat itu Arsyi tidak menyadari dirinya memperhatikan gadis itu, karena gadis itu benar-benar fokus membantu seorang nenek yang ingin menyebrang.
Bahkan setelah membantu nenek itu, Arsyi juga memberikan makanan untuk nenek itu. Awalnya ia hanya kagum saja, tapi setelah ia pindah ke rumah sakit milik ayahnya, ia jadi sering bertemu dengan Arsyi. Apalagi saat mengetahui ternyata Arsyi berada satu divisi dengannya. Hal itu semakin membuatnya merasa senang.
Saat awal-awal mendekati Arsyi, gadis itu membentengi diri. Willy pikir itu adalah wujud ketaatan Arsyi sebagai seorang muslim saja. Tapi selain menjalankan ketaatannya, ternyata gadis itu juga memiliki alasan lain untuk membentengi dirinya. Trauma.
Willy menatap layar ponselnya. Ah gadis itu masih sama, hanya membaca pesannya saja. Willy tak menyerah, ia kembali mengirim pesan.
'jangan lupa makanan yang ku kirim dimakan.'
Setelah beberapa menit, hampir saja pria itu berteriak kegirangan. Arsyi membalas pesannya. Memang lebay! Padahal Arsyi hanya membalasnya dengan ucapan terima kasih, tapi respons pria itu di luar nalar.
Ariel yang kebetulan lewat mengernyit bingung. Pria itu mendekati Willy, sedikit mengintip ke arah ponsel sang saudara. Ia kepo, apa sebenarnya yang membuat saudaranya sampai berteriak seheboh itu.
Tawa Ariel langsung pecah saat melihat apa yang Willy teriaki. Sebuah pesan yang hanya bertulis 'Terima kasih, lain kali gak usah ngirim lagi.'
"Lo salting sama balasan gitu?" tanya Ariel tak habis pikir. Apa abangnya ini sudah kehilangan akal?
"Lo diam Riel, selama ini dia gak pernah balas chat gue. Wajar dong respons gue sebahagia ini."
Tawa Ariel kembali terdengar, "walaupun balasannya judes kek gitu? Ya ampun, heran gue, cewe arogan kaya gitu disukain. Kaya gak ada cewe lain aja."
"Lo gak usah sok tau! Lo gak tau keistimewaan apa yang ada di diri Arsyi sampai gue suka." setelah mengatakan hal itu, Willy langsung meninggalkan Ariel. Adiknya itu benar-benar membuat dirinya jengkel.
*****
Sudah satu Minggu semenjak Arsyi mengatakan ingin shalat istikharah mengenai hubungannya dan Willy. Arsyi bahkan sudah menemukan jawaban dari shalatnya itu, tapi gadis itu masih tidak percaya dengan jawabannya. Ia tidak ingin menikahi pria yang suka menggoda seperti Willy.
Bahkan berkali-kali sang Umi meyakini Arsyi bahwa sesuatu yang melibatkan Allah tidak mungkin salah. Tapi gadis itu benar-benar keras kepala. Ia menghela napas, tangannya menuangkan air dingin ke dalam gelas. Setelah meminumnya hingga habis, Arsyi memainkan ponselnya. Ia menchat Ameena yang sedang berada di tempat Daddynya.
Saat tidak mendapat balasan, gadis itu kembali menghela napas dengan pasrah. Ia bosan. Uminya juga belum pulang dari tadi, katanya tadi hendak membeli peralatan membuat kue sebentar ke Alfamart, tapi sampai sekarang belum datang.
Arsyi membuka pintu, ia langsung dibuat terkejut saat melihat Uminya di papah oleh pria yang selama satu Minggu ini tak pernah absen di mimpinya, bahkan dipikirannya.
"U-mi kenapa?" Arsyi langsung memeriksa sang Umi.
"Arsyi jangan begini, biarkan Umi mu duduk dulu, kaki beliau belum dibersihkan." Arsyi langsung mengangguk. Gadis itu menatap Uminya yang kini berwajah lesu. Entah apa yang terjadi.
"Apa yang terjadi?"
"Bisa ambilkan kotak p3k dulu?" tanpa bertanya lagi, Arsyi langsung mengambilnya.
"Izin ya, Bu." Willy meminta izin untuk mengangkat sedikit gamis Umi Arsyi. Mata Arsyi langsung membulat sempurna saat melihat luka yang cukup besar itu.
"Sudah, sepertinya kaki ibu harus di jahit. Saya sarankan bawa ibu Anda ke rumah sakit. Lukanya cukup dalam, tadi saya ingin membawa beliau langsung ke rumah sakit, tapi katanya dia ingin pulang. Apalagi rumah Anda tidak terlalu jauh." Arsyi menatap Willy dengan bingung. Selain karena pria itu berbicara formal, tatapan pria itu juga berubah. Apa yang terjadi?
"Terima kasih ya, Nak Willy. Arsyi, tolong buatkan Nak Willy minuman."
"Tidak perlu, Bu. Saya ingin cepat pulang, ada janji dengan seseorang." Siapa? Kenapa Arsyi tiba-tiba ingin tau?
"Arsyi, antarkan Willy ke luar." Arsyi mengangguk samar.
Setelah mengantarnya Arsyi bersuara.
"Terima kasih dokter, tapi, boleh saya meminta penjelasan apa yang terjadi dengan ibu saya?"
"Tanya langsung ke ibu mu." Willy hendak berbalik, ia ingin pergi.
"Ohya, lain kali jangan memberi harapan pada orang lain Arsyi. Saya tidak tau bahwa perkataan kamu ingin mempertimbangkan hubungan kita, nyatanya hanya omong kosong belaka karena kamu tidak ingin melihat bunda saya terluka. Kamu sudah memberi saya harapan semu." Arsyi mengerjap. Bagaimana Willy bisa tau?
"Sa-ya tidak berniat seperti itu."
"Benarkah? Lalu kenapa kamu tidak pernah memberikan jawaban? Saya merasa kamu hanya bermain-main." Arsyi menghela napas dengan kasar.
"Memangnya selama ini yang mengejar saya siapa? Saya juga tidak pernah mengatakan bahwa saya akan membalas perasaan Anda, saya hanya berkata ingin shalat istikharah, tapi ekspektasi Anda yang berlebihan." Arsyi mulai tak bisa menyangkal rasa kesalnya sehingga ia tidak bisa menyaring perkataannya.
Willy tersenyum tipis, "ya, sepertinya memang ekspektasi saya yang terlalu tinggi."
Setelah mengatakan hal itu, Willy langsung pergi meninggalkan Arsyi yang terdiam. Gadis itu tidak bermaksud mengatakan hal seperti itu. Ia hanya kesal saja.
Arsyi beristighfar seraya membuang napasnya dengan kasar. Gadis itu langsung masuk setelah melihat Willy sudah tak terlihat.
"Umi,"
"Kenapa sayang?"
"Apa yang terjadi? Kenapa Umi tiba-tiba diantar dia?"
"Tadi Umi sempat diserempet mobil. Dan mobil itu langsung kabur. Nak Willy yang membantu Umi. belanjaan Umi juga sudah berantakan."
"Inalillahi, Umi tunggu sebentar, Arsyi mau ganti jilbab dulu, kita ke Rumah sakit. Dia bilang luka Umi harus di jahit, Arsyi gak bisa kalo harus menjahitnya, Arsyi gak tega sama Umi."
Setelah lima belas menit, gadis itu sudah siap dengan pakaian dan jilbabnya. Belum sempat ia membantu Uminya untuk bangun, suara sang Umi langsung mengalihkan perhatiannya.
"Terima Nak Willy, Arsyi." Arsyi langsung mematung. Ada apa dengan Uminya?
"U-mi,"
"Kemarin Umi sudah menceritakan semuanya dengan Ibunya Nak Willy dan Nak Willynya. Umi sudah mengatakan bahwa kamu berkata seperti saat itu karena kamu tidak ingin melihat Bu Alisa sedih."
"Kenapa Umi mengatakannya?"
"Sayang, kamu sudah menggantung mereka. Kamu tau respons nak Willy seperti apa? Dia tetap tersenyum saat Umi mengatakan hal itu. Dia paham dengan perasaan kamu, dia paham bahwa cinta memang tak bisa di paksa. Tapi Arsyi, ayah nak Willy yang mendengar hal itu, langsung ingin menjodohkan nak Willy dengan putri koleganya."
"APA?!" Umi tersenyum lembut mendapati reaksi putrinya seperti itu.
"Mungkin janji yang dimaksud nak Willy tadi pertemuan dengan putri koleganya itu."
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Marriage
Spiritual'Celahmu akan dianggap sempurna, oleh hati yang memang ditakdirkan untukmu' kata-kata ini benar-benar sangat cocok untuk Arsyi. Gadis yang selalu merasa bahwa dia tidak cocok dimiliki oleh pria manapun itu akhirnya mengakui qoutes itu memang benar. ...