Matahari pagi mengintip malu-malu dari balik awan, membiaskan sinar keemasan yang menghangatkan. Aku dan Rino sudah siap dengan setelan olahraga kami, ancang-ancang memulai hari dengan lari pagi. Kebiasaan baru kami setiap Sabtu dan Minggu sejak menikah dua minggu lalu.
"Siap?" tanya Rino sambil mengencangkan tali sepatunya. Aku mengangguk mantap, menarik napas dalam-dalam, menikmati sejuknya udara pagi yang segar.
Kami pun mulai berlari pelan, mengitari kompleks apartemen yang masih lengang. Hanya terlihat beberapa orang yang punya hobi sama, berolahraga di akhir pekan. Kami berlari beriringan, sesekali mengobrol ringan.
"Kok tumben kamu semangat lari pagi gini?" tanya Rino di sela engahan napas. "Biasanya kan aku harus nyeret-nyeret kamu dulu dari tempat tidur," ledeknya.
Aku mendengus. "Aku bukan kebo ya! Cuma kadang susah aja bangun pagi," elakku membela diri. "Lagian sekarang aku punya tanggung jawab sebagai istri. Masa iya aku mau kalah sama suami sendiri?" balasku menggodanya.
"Cieee yang udah jadi istri. Pantesan jadi rajin. Takut diomelin suami nih ceritanya," balas Rino cengengesan. Aku meninju bahunya main-main, tapi ikut tertawa. Obrolan kami berlanjut, membuat perjalanan terasa menyenangkan.
Tak terasa kami sudah sampai di taman komplek. Kami mengatur napas sambil lanjut mengobrol, menikmati semilir angin yang menerpa wajah berkeringat kami. Saat itulah seorang nenek mendekat dan menyapa ramah.
"Wah wah, kalian ini pasangan baru ya? Semangat sekali olahraganya," ucap si nenek hangat.
Aku dan Rino berpandangan, lalu tersenyum kikuk. "Iya Nek, kami baru menikah dua minggu lalu," jawab Rino sopan.
"Pantas, kalian terlihat serasi sekali sih. Sama-sama ganteng dan cantik. Pasti nanti anak kalian lucu deh," puji si nenek, membuatku tersipu.
"Ah Nenek bisa aja," aku tertawa malu. Rino ikut nyengir lebar.
"Iya Nek, semoga anak kami nanti mirip ibunya, biar sama-sama cantik," timpal Rino, membuatku melotot kaget. Dia tertawa jahil.
Nenek itu terkekeh. "Kalian ini ada-ada saja. Ya sudah, semoga langgeng ya sampai tua. Jangan lupa rajin olahraga biar sehat!" pesannya sebelum pamit pergi.
Aku dan Rino melambai pada si nenek. Hatiku menghangat mendengar doa tulusnya. Berharap langgeng sampai tua...
Eh tunggu. Kenapa aku berharap begitu? Kami kan cuma suami istri bohongan, menikah bukan karena cinta. Aku tidak boleh terlena dengan situasi ini...
Kami lanjut lari pagi sebentar, lalu pulang ke apartemen karena matahari sudah semakin tinggi. Rino masuk kamar mandi duluan, sementara aku sibuk memasak sarapan sederhana. Meski masih sering gagal, aku mulai terbiasa memasak untuk kami berdua.
Usai sarapan, aku buru-buru bersiap ke kantor. Rino juga akan berangkat kerja. Kami bekerja di perusahaan yang berbeda, jadi tidak bisa berangkat bersama. Kadang aku sedikit menyayangkannya, berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan Rino...
Siang itu, saat aku sedang sibuk mengetik laporan di kantor, ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari Rino. "Lagi di kantor? Makan siang bareng yuk di Resto Padang langganan kita. Aku tunggu jam 1 ya."
Aku menggigit bibir, otakku langsung berputar cepat. Jadwalku siang ini padat, ada meeting dengan beberapa klien. Sepertinya aku tidak bisa menemani Rino makan siang. Dengan berat hati, kuketik balasannya.
"Maaf Rin, aku nggak bisa. Banyak kerjaan nih, mau meeting juga. Duluan aja ya, aku makan di kantor nanti."
Tak sampai semenit, balasan Rino masuk. "Oh oke, gapapa. Semangat kerjanya! Jangan lupa makan kalo udah kelar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry My Bestie
Romance"Pagi ini rasanya aku ingin mengubur diri dalam-dalam. Sinar mentari yang biasanya kuanggap sebagai pertanda semangat, kini terasa bagai sindiran bagiku. Lihatlah dirimu, Dina. Menikmati seks bebas dengan sahabatmu sendiri. Dasar rendah!" Dina dan R...