Aku tidak punya tenaga untuk melawan lagi, hanya bisa merintih ketika pinggulnya mulai mendesak. Tubuhnya bergerak ke dalam tubuhku. Gerakan yang tadinya lembut dan perlahan, semakin lama menjadi desakan yang tegas dan cepat.
Aku menggigit bibirku. Merasakan kenikmatan yang terbit setiap kali tubuh Rino bergesekan dengan inti tubuhku yang basah dan sensitif.
Aku mencapai klimaks sambil mengerang, sekujur tubuhku gemetar hebat sementara kelegaan menjalari tubuhku. Orgasme itu berlangsung begitu lama.
Tapi Rino belum puas. Ia membuka pahaku dan menempelkan mulutnya di tubuhku. Ia membuatku mencapai klimaks lagi. Dan lagi.
***
Aku mendesah puas, menikmati sensasi nyaman dan lengket sehabis bercinta. Kurebahkan kepala di dada bidang Rino yang masih naik turun mengatur napas. Jemariku bermain-main di atas perutnya yang sixpack, menelusuri lekuk-lekuk ototnya.
"Aku cinta kamu," bisikku tiba-tiba.
Rino menunduk, menatapku dengan sorot mata teduh. Senyum tipisnya mengembang. "Aku juga cinta kamu, Din," balasnya lembut.
Aku tertegun. Ini pertama kalinya Rino mengucap cinta padaku. Selama ini, aku yang selalu bilang duluan dan dia hanya membalasnya dengan "aku juga". Mendengarnya menyatakan cinta lebih dulu membuat hatiku membuncah bahagia.
Kubenamkan wajahku ke dadanya, menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya. Aroma yang selalu membuatku merasa aman dan dicintai. Kuharap waktu berhenti saat ini juga, membiarkanku terperangkap selamanya dalam dekapan hangatnya.
Entah kenapa, aku merasa hubungan kami sudah berubah. Setelah ini kami harus kembali menata kehidupan baru kami sebagai pasangan sah, bukan sekadar sahabat yang berpura-pura menikah demi taruhan konyol.
***
Sore ini, kami bahu membahu merapikan apartemenku yang mulai hari ini resmi menjadi apartemen kami berdua. Barang-barang Rino sudah berpindah ke sini semua, membuat ruangan jadi semakin sesak. Berbagai kardus dan koper berserakan memenuhi lantai.
"Barang kamu banyak juga ya, Rin. Yakin nih muat semua di sini?" tanyaku sambil membongkar isi kardus terdekat.
Rino menoleh dari kegiatan melipat bajunya. "Ya harus muat. Emangnya aku mau tidur di luar?" sahutnya. Cengirannya melebar melihat ekspresiku. "Bercanda. Nanti aku akan pilah-pilah lagi mana yang mau dibuang atau disumbangin. Yang penting sekarang masuk dulu semua."
Aku manggut-manggut. Kualihkan perhatianku pada tumpukan buku di dalam kardus. Semua judul buku bisnis, motivasi, keuangan... Tipikal bacaan Rino banget. Tak sengaja, tanganku menyentuh sesuatu yang empuk di bawah buku. Penasaran, kutarik keluar benda asing itu.
Sebuah boneka beruang cokelat tampak di tanganku. Boneka itu sudah usang, tapi masih terawat. Matanya yang bulat hitam seperti menatapku polos. Aku mengernyit. Untuk apa Rino menyimpan boneka ini?
"Rin, ini boneka siap-" Pertanyaanku terhenti melihat raut wajah Rino. Matanya membulat kaget, tapi segera berganti sorot lembut yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Diambilnya si boneka dari tanganku, diusapnya pelan dengan jemarinya. "Ini boneka pertama yang dibelikan almarhum ibuku," ceritanya pelan. "Aku selalu membawanya ke mana-mana sejak kecil. Sampai sekarang, aku nggak bisa pisah darinya."
Aku tertegun. Ada senyum samar menghiasi wajah Rino saat memandangi boneka itu penuh sayang. Sorot matanya menerawang, seolah tenggelam dalam kenangan masa lalu. Aku tak berani menginterupsi.
"Dia ini yang selalu nemenin aku tiap kali ayah pergi berbulan-bulan. Dia yang mendengarkan semua keluh kesahku, tangisanku setiap malam. Bisa dibilang, dia sahabat terbaikku," lanjut Rino, terkekeh kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry My Bestie
Dragoste"Pagi ini rasanya aku ingin mengubur diri dalam-dalam. Sinar mentari yang biasanya kuanggap sebagai pertanda semangat, kini terasa bagai sindiran bagiku. Lihatlah dirimu, Dina. Menikmati seks bebas dengan sahabatmu sendiri. Dasar rendah!" Dina dan R...