Tergiur Body Bestie

316 7 0
                                    

"Astaga! Kamu beneran mau nikah sama Rino?" tanya Sinta, sahabatku, saat kami sedang ngopi bareng di kafe deket kantor.

Aku mengangguk, menyeruput cappuccino pesananku. "Iya, daripada Mama maksa jodohin aku."

"Bukannya... karena kamu takut komitmen?" selidik Sinta. Dia emang paling jago baca pikiranku.

"Takut komitmen? Nggak lah!" bantahku.

"Terus kenapa kamu selalu putus setiap pacarmu mulai serius?" todong Sinta lagi.

Aku terdiam, mikir. Emang sih, selama ini aku nggak pernah lama berhubungan dengan cowok. Paling lama juga setahun. Itu pun karena belum sempet serius aja.

"Ya... aku belum nemuin yang cocok aja," elakku akhirnya. "Lagian Mama nggak pernah jodohin aku sama yang cocok. Pilihannya selalu cowok mapan doang, nggak liat dari segi lainnya. Jadinya ya aku tolak."

Sinta manggut-manggut. "Terus, kamu nikah sama Rino biar bisa hindarin komitmen gitu? Kan kalian cuma sahabatan."

"Enak aja! Aku serius kok mau nikahin dia," protesku. Tapi dalem hati, aku jadi ngerasa ragu. Apa bener aku milih nikah sama Rino karena nggak perlu komitmen beneran kayak pasutri lainnya?

***

Pertanyaan Sinta tadi siang masih membekas di pikiranku, bahkan sampai sore ini di kantor. Aku nggak bisa konsen kerja, malah bengong mikirin ini.

Jujur, selama ini aku emang ngerasa aman dan nyaman sama Rino. Kami temenan udah belasan tahun, dia paham banget aku luar-dalam. Jadi nggak pernah ada tuntutan macem-macem.

Beda sama cowok-cowok yang pernah aku pacarin. Mereka kadang minta ini-itu, protes kalo aku nggak punya waktu bareng, atau maksa aku ganti kebiasaan biar cocok sama mereka. Bikin gerah.

Dengan Rino, aku bisa tetep jadi diriku sendiri. Nggak perlu berubah atau berusaha jadi cewek idaman. Apa itu berarti aku cuma mau nikah buat menghindari komitmen yang terlalu dalem?

Arrrgh! Aku mengacak rambutku frustasi. Kenapa jadi puyeng gini sih mikirnya? Padahal tadinya aku yakin banget mau nikah sama Rino.

Tapi kalo dipikir-pikir... pernikahan tanpa rasa cinta dan komitmen beneran, apakah bisa langgeng? Apakah itu adil buat Rino? Terus kebutuhan seksual kami gimana?

Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran di benakku saat pintu ruang kerjaku diketuk. Sosok Rino nongol begitu pintu kubuka.

"Calon istriku udah selesai kerja nih? Mau pulang bareng nggak?" tanyanya sambil nyengir.

Aku melotot dan buru-buru narik dia masuk ke ruanganku, menghindar dari tatapan penasaran rekan-rekan kerjaku.

"Apaan sih kamu ini, bisa aja bercandanya!" omelku dengan suara pelan tapi galak.

Rino ketawa. "Biar kamu nggak lupa aja kalo kita bentar lagi nikah," ujarnya santai.

"Tapi nggak usah teriak-teriak di kantor aku dong! Belum pada tau nih rencana kita!" balasku sewot.

Rino malah makin ngakak. "Terus kenapa kalo pada tau? Kamu malu gitu mau nikah sama aku?" ledeknya.

"Bu-bukan gitu!" sergahku panik. "Aku cuma belum siap aja ngasih tau orang. Ini kan keputusan besar, aku butuh adaptasi dulu."

Raut wajah Rino berubah serius. Dia menatapku lurus-lurus. "Din, jangan-jangan... kamu ragu ya mau nikah sama aku?"

Deg! Aku menelan ludah, merasa tertangkap basah. "Mmm... nggak sih, cuma..." Aku berhenti, bingung mau bilang apa.

"Takut komitmen kan?" tebak Rino tepat sasaran. Dia tersenyum kecil melihat reaksiku. "Udahlah Din, ngaku aja. Aku juga paham kok. Selama ini kamu sukanya hubungan yang santai, yang nggak terlalu mengikat. Pasti berat bagimu memutuskan nikah, meski itu sama aku."

Marry My BestieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang