Mempercepat Pernikahan

236 7 0
                                    

Tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Dengan enggan aku melepaskan diri dan mengeluarkan ponsel dari saku celana. Nama Mama terpampang di layar. Aku mendesah.

"Halo, Ma?" sapaku ogah-ogahan.

"Dina, kamu di mana? Aldo dari tadi nungguin kamu di lobi apartemen kamu lho. Dia nggak mau pulang sebelum ketemu kamu," cerca Mama tanpa basa-basi.

Apa? Si songong itu nekat nyamperin ke apartemenku?

"Aku nggak mau ketemu dia, Ma. Udah dibilangin juga, aku nggak suka sama Aldo. Ngapain sih dia maksa-maksa gini?" semburku kesal.

"Din, jangan ngeyel deh. Kasihan Aldo udah nungguin kamu dari tadi. Kamu turun sekarang, temuin dia," titah Mama nggak mau dibantah.

Aku menggeleng keras, meski Mama nggak bisa melihatnya. "Ogah, Ma. Lagian aku lagi di luar... Kalau aku lagi di apartemen juga aku ogah nemuin dia, males.... " ucapanku terpotong saat menyadari Rino mendengarkan pembicaraanku dengan ekspresi penasaran.

"Memangnya kenapa?" tuntut Mama.

"Udah deh Ma, aku capek. Aku mau istirahat aja. Suruh Aldo pulang aja, jangan tunggu aku," ujarku putus asa.

"Din, kamu..."

Klik! Kumatikan telepon sepihak. Masa bodoh Mama mau marah-marah. Aku sudah tidak tahan lagi.

"Kenapa? Aldo nyariin kamu ke apartemen?" tanya Rino hati-hati.

Aku mengangguk lesu. "Dia nggak mau pergi sebelum ketemu aku. Nyebelin banget kan?"

Rino menepuk pundakku, memberi semangat. "Ya udah, kamu di sini aja dulu sampai dia bosen nunggu dan pulang. Biar aku masakin makan malam spesial buat kamu," tawarnya.

Senyumku merekah. Nah, gini dong, ada yang perhatian dan bisa ngertiin aku, nggak kayak Mama. "Thanks banget, Rin. Untung ada kamu."

"Udah, santai aja." Rino berjalan ke dapur, mulai sibuk mengeluarkan bahan makanan dari kulkas. "Nggak usah mikirin si Aldo itu. Mending kamu nonton TV atau apa gitu biar nggak stres."

Aku menuruti sarannya. Kusambar remote dan menyalakan TV, mencari acara yang menarik. Tapi pikiranku tidak bisa fokus. Terus terbayang Aldo yang menungguku di bawah dengan sia-sia. Kasihan juga sih, tapi aku nggak mungkin mau menemuinya.

Aroma sedap menguar dari dapur, membuatku tergiur. Rino lagi masak apa ya? Kayaknya enak banget. Aku beranjak dari sofa dan melongok ke dapur.

"Wah, kamu masak apa, Rin? Kok wangi gitu?" tanyaku ingin tahu.

Rino tersenyum misterius. "Ada deh. Nanti juga kamu tahu. Sana duduk manis aja, bentar lagi juga siap kok."

Aku mencibir, tapi kembali ke sofa tanpa protes. 15 menit kemudian, Rino keluar dari dapur membawa dua piring nasi goreng yang menebar aroma lezat. Perutku langsung keroncongan.

"Silakan dicicipi Nasi Goreng Spesial ala Chef Rino," ujarnya dengan gaya seperti pelayan restoran, meletakkan piring di hadapanku.

Aku terkekeh melihat kekonyolannya. "Ciyeee, yang tahu aku lagi pengen nasi goreng. Pake acara spesial-spesial segala lagi."

"Ya iyalah, spesial buat sahabat tersayang... eh, buat calon istri tersayang..." balas Rino cengar-cengir. "Ayo makan, keburu dingin."

Satu suapan nasi goreng masuk ke mulutku. Rasa gurih, manis, dan sedikit pedas berbaur nikmat di lidah. Mmm... Rino memang jago masak!

"Gimana, enak nggak?" tanya Rino harap-harap cemas.

"Enak banget! Beneran deh, ini nasi goreng terenak yang pernah aku makan. Kamu calon suami idaman banget deh," pujiku tulus, melahap suapan demi suapan dengan semangat.

Marry My BestieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang