Bab 1: Mimpi dan Dilema yang Mengikutinya

439 12 2
                                    

Adam bergeming di tempat duduknya.

Jika ada pertanyaan paling sulit di dunia ini, sepertinya Adam baru saja mendengarnya dari mulut seorang wanita paruh baya yang sedang mengajar di depan kelasnya hari ini.

“Apa cita-citamu?”

Pertanyaan itu terdengar lantang memenuhi ruang kelas berukuran 9 x 8 meter. Dua murid di bangku paling belakang yang tengah asik berbisik-bisik, sempat berhenti sejenak, menoleh ke sumber suara, lalu lanjut mengobrol setelah memastikan pertanyaan itu bukan ditujukan untuknya. Adam yang duduk satu baris di depan mereka masih terdiam. Bukan karena ingin terlihat seperti menyimak pelajaran, melainkan terkejut dengan pertanyaan yang baru kali ini menyapa telinganya selama hampir tujuh tahun lahir di bumi.

“Hayoo.. siapa yang mau jawab? Angkat tangannya!” seru wanita itu yang disambut antusias oleh murid-murid penghuni bangku barisan depan.

“Dokter!”

“Polisi!”

“Guru!”

“Pilot!”

Satu per satu murid mengutarakan cita-citanya dengan setengah berteriak, tidak mau kalah semangat dari teman-temannya yang lain. Sementara Adam makin kebingungan. Pertanyaan apa ini? Kenapa semua orang punya jawaban? Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari apakah ada yang belum menjawab seperti dirinya.

“Ya, coba kamu yang di belakang!”

Deg. Suara wanita itu membuat jantung Adam serasa berhenti. Dua murid yang berbisik-bisik di belakangnya juga ikut berhenti. Adam menoleh ke arah mereka yang balas menatap dengan bingung.

“Iya, kamu, Adam,” lanjut wanita itu seolah menjawab pertanyaan tak terucap dari ketiga muridnya yang nampak kebingungan.

Otak Adam bekerja lebih keras, mencari setidaknya satu kata yang bisa ia katakan dengan yakin. Tentara? Bukan. Koki? Bukan. Arsitek? Bukan juga. Tukang becak? Ah, yang benar saja, itu kan dua kata. PNS? Tetangganya sering menyebut-nyebut ini, tapi apa itu PNS? Bagaimana kalau Spiderman? Tidak, jangan Spiderman, dia tidak punya gaji. Adam mulai frustasi.

“Ayo, cita-citamu apa Adam?” tanya wanita itu kembali.

Adam makin tertekan. Pertanyaan ini begitu sulit. Adam tidak bisa mencari jawabannya lewat Google, atau menghitungnya di kalkulator. Adam tidak suka pertanyaan yang tidak memiliki jawaban pasti.

“Tidak tahu, Bu,” jawab Adam lesu.

Jawaban Adam sontak membuat seisi kelas tergelak setelah hening yang cukup panjang. Dua murid di bangku belakang yang sedari tadi hanya berbisik-bisik, sekarang malah tertawa paling keras. Sial.

***

Noah bergeming melihat formulir biodata.

Jika ada hal yang paling menakutkan di muka bumi ini, itu adalah selembar kertas yang ada di hadapan Noah saat ini, setidaknya begitu menurut Noah.

“Untuk dapat beasiswa, kamu harus isi dulu formulir ini ya,” ujar Bu Monik, wali kelas Noah, sembari menunjuk formulir pendaftaran beasiswa pelajar yang tergeletak di atas meja.

Umumnya, hal-hal yang menakutkan bagi anak kelas 4 SD adalah takut dihukum guru, takut diminta maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal sulit, atau takut tidak naik kelas. Tapi Noah tidak takut sama sekali akan hal-hal tersebut, satu-satunya ketakutan Noah adalah mengisi formulir biodata.

Noah melakukan skimming pada lembar kertas yang telah berpindah ke tangannya. Mencari informasi apa saja yang harus ia tuliskan pada kertas putih berukuran A4 itu. Matanya bergerak cepat menyisir kata demi kata yang perlahan membuat jantungnya ikut berdegup kencang. Nama Lengkap Ayah. Tempat/Tanggal Lahir. Pekerjaan. Pendidikan Terakhir. Semua informasi yang berkaitan dengan ayah membuatnya berkeringat dingin. Noah tidak tahu harus menuliskan apa.

Toko MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang