Bab 4: Mimpi yang Diusahakan

285 4 0
                                    

Hari berikutnya, seorang pelanggan naik ke lantai atas.

Adam tidak lagi harus mengendap-endap dan menguping pembicaraan di depan pintu ruangan Miki. Kini, ia bisa menyaksikan transaksi mimpi itu langsung di depan matanya. Adam berdiri di samping Miki yang tengah duduk berhadapan dengan seorang lelaki yang tampak nelangsa. Bagai seorang pengawal, Adam mengambil posisi tegap dengan tangan yang disilangkan di belakang punggungnya. Tidak ada yang menyuruhnya bersikap seperti itu. Ia hanya merasa terhormat diberi kesempatan oleh Miki untuk terlibat dalam proses transaksi kali ini. Baginya, ini hal baru yang menyenangkan.

“Huaaa.. Bang tolongin gua, Bang!”

Belum juga Miki memulai percakapan, lelaki dengan rambut lurus berponi miring yang hampir menutupi sebelah matanya itu sudah menangis meraung-raung.

“Tenang dulu, Mas.” ucap Miki menepuk-nepuk pundak lelaki itu, sementara sebelah tangannya menyikut Adam. “Dam, ambilin tisu, Dam.”

Adam yang sedari tadi memang sudah mengaktifkan mode pelayan langsung sigap. “Siap, Bang!” Setengah berlari, ia bergegas keluar ruangan dan menuruni tangga. Tak butuh waktu lama, Adam sudah kembali dengan sekotak tisu di tangan.

“Huhuhu.. sakiiit hati gua, Bang. Nggak sanggup gua diginiin!” Lelaki itu melanjutkan raungannya. “Mending gua mati aja daripada harus kayak gini!”

“Dam, ambilin pisau, Dam.”

“Siap, Bang! Eh?”

Adam terdiam. Lelaki itu terdiam. Cicak yang merayap di dinding juga ikut diam.

“Nah, gitu dong! Tenang dulu,” sahut Miki santai. “Mas coba ceritain dulu deh kronologinya dari awal kayak gimana.”

Lelaki itu menghela napas yang tidak sadar sempat ditahannya. “Jadi gini, Bang. Dulu gua lahir tahun..”

“Nggak sejauh itu, Mas. Langsung aja ke inti ceritanya,” potong Miki.

“Oh, kirain. Jadi, kemarin gua ke rumah Astuti, Bang.”

“Astuti siapa?”

“Pacar gua, Bang. Gua niatnya kan mau melamar dia. Gua udah prepare tuh dari rumah, pakai baju rapi, dandan yang cakep, bawain martabak. Eh nyampe sana, gua ditolak, Bang. Huhu..”

“Masnya bawa martabak semalem kali?”

“Bukan, Bang! Gua beli kemarin sorenya.”

Miki terdiam. Adam terdiam. Cicak di dinding meninggalkan ruangan.

“Tapi bukan gara-gara martabak, Bang. Bokapnya nggak setuju karena gua pelukis jalanan. Menurut dia, pekerjaan gua nggak ada masa depannya. Gua dikatain miskin, Bang!”

“Padahal nggak?”

“Padahal nggak usah diperjelas juga gua tahu, Bang.”

Miki diam. Adam menunduk, berbisik di telinga Miki. “Pisaunya jadi saya ambilin, Bang?”

“Padahal dulu Astuti jatuh cinta sama gua gara-gara lukisan gua juga.” Lelaki itu melanjutkan ceritanya. “Dia bilang gua berbakat, lukisan gua bagus kayak lukisannya Van Gogh waktu masih magang. Bahkan lukisan gua terpajang rapi di dinding rumah dia, tapi bisa-bisanya gua ditolak di depan lukisan gua yang nggak berdosa itu!”

“Jadi, kamu mau apa sekarang?” tanya Miki.

“Gua nggak mau ngelukis lagi, Bang. Trauma gua!” seru lelaki itu sembari menepuk dadanya. “Bakat gua yang berharga ini bisa ditukar dengan pekerjaan yang gajinya lebih stabil aja nggak, Bang?”

“Bisa.. Bisa.. Kamu mau pekerjaan yang gimana?”

“Apa aja deh, Bang, yang penting kerjanya pakai seragam biar gua nggak dibandingin mulu sama si Jupri.”

Toko MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang