Bab 5: Mimpi yang Ditukarkan

273 4 0
                                    

Jantung Adam berdebar setiap melihat bola mimpi.

Bola mimpi. Begitulah ia menamai bola-bola kristal yang berisi impian para pelanggan toko. Belakangan ini, Adam lebih sering menghabiskan waktu di ruangan Miki hanya untuk melihat bola mimpi itu. Bahkan ia bisa berada di sana lebih lama dibandingkan menjaga meja kasir di lantai bawah. Adam baru turun jika mendengar suara gemerincing bel dari pintu masuk toko, pertanda ada pelanggan yang datang. Saat sedang di lantai atas, Adam tidak sekadar berdiam diri. Terkadang ia mengelap debu-debu halus yang menempel pada permukaan bola mimpi. Pada waktu lain, ia mengeluarkan bola-bola dari rak lalu menatanya ulang dengan rapi. Jika hari ini ia mengurutkan bola berdasarkan jenis impian, besoknya urutan bola bisa saja berubah lagi. Apapun ia lakukan asal bisa berdekatan dengan impian-impian yang terpatri indah di dalam bola.

“Buset, Dam! Pacarin aja tuh bola sekalian,” seloroh Miki melihat tingkah laku Adam yang sedari tadi duduk melantai dengan lutut ditekuk di depan dada, sambil bertopang dagu memandangi rak bola mimpi di depannya.

“Iya nih, Bang. Kayaknya saya emang lagi jatuh cinta,” timpal Adam dengan tatapan berbunga-bunga.

“Dih, najong! Jatuh cinta kok sama bola. Sakit jiwa nih anak!” Miki menggelengkan kepala, tidak habis pikir.

Adam menoleh dan mengganti posisi duduknya menghadap Miki yang sedang bersantai di kursinya.

“Bang, saya penasaran deh. Apa sih yang sebenarnya orang-orang rasain ketika mereka punya impian?” tanya Adam serius.

“Ya.. mirip-miriplah kayak orang jatuh cinta. Ada perasaan ingin memperjuangkan sesuatu. Ada hal yang bikin kita semangat bangun pagi dan melakukan hal yang bisa membawa kita lebih dekat ke impian itu. Kita jadi punya tujuan yang jelas dan tahu mau ke mana, nggak terombang-ambing.”

Adam hanya bengong mendengar penjelasan Miki.

“Jangan bilang kamu belum pernah jatuh cinta?” tanya Miki curiga. Yang ditanya hanya cengengesan. 

Miki mendelik tak percaya. “Wah, beneran nggak normal. Kamu selama ini hidup di goa apa gimana sih, Dam?!”

“Kalau terombang-ambing sih saya paham rasanya, Bang. Cuma yang bikin saya heran, kok orang-orang mau gitu capek-capek mengusahakan segala cara buat dapetin sesuatu yang nggak mereka punya. Kenapa nggak go with the flow aja sih, lebih tentram.”

“Karena jiwa mereka lapar, dan impian itu ibarat makanan buat jiwanya, Dam. Kamu kalau lapar juga pasti mengusahakan segala cara biar bisa makan, kan? Nah, kira-kira gitu analogi gampangnya.”

“Kalau Bang Miki punya impian?”

“Punya lah! Emangnya kamu.”

“Apa tuh, Bang?”

“Kebebasan.”

“Bebas dari apa?”

“Dih, kepo!”

“Ya elah, Bang. Nanya doang.”

Miki hanya tersenyum kecil sambil menatap jauh ke depan. Adam yang tidak ingin mencampuri privasi atasannya, mencoba beralih ke pertanyaan lain.

“Terus, gimana cara kita tahu apa yang benar-benar kita impikan, Bang?”

“Hmm.. Kalau ada sesuatu yang bikin jantungmu berdebar-debar dan matamu berbinar-binar setiap kali kamu membicarakannya, bisa jadi itu impianmu.”

Bagai ada sebuah bohlam yang menyala di atas kepala Adam, tiba-tiba ia terperanjat. “Oh! Saya tahu, Bang! Saya tahu impian saya apa,” serunya antusias.

“Apa tuh?”

“Mimpi saya adalah..” ucap Adam pelan, sengaja membuat Miki penasaran dan menunggu jawabannya. “Punya impian!”

Toko MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang