Ia terus mengayuh sepedanya dengan penuh semangat sambil sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Lima belas menit lagi batas waktu untuk sampai ke sekolah. Ia tidak ingin terlambat hingga melewatkan ujian hari pertama pada semester ganjil di kelas XII.
Senyumnya mengembang kala melihat gerbang sekolah masih terbuka. Ia dengan ramah menyapa satpam yang sedang berjaga, kemudian berlari menuju kelas setelah memarkirkan sepedanya.Senyum manisnya tidak pernah luntur meski hanya ditanggapi oleh beberapa orang. Itu pun hanya bagian dari formalitas. Namun, Satya tidak peduli seperti apa orang melihat dan membalasnya. Dirinya tidak mengharapkan balasan apa pun akan sikapnya. Ia hanya ingin menikmati hidupnya yang berat dan kelam dengan ceria.
***
"Sat, bagi jawaban, dong!"
Satya melirik teman sebangkunya yang lagi-lagi meminta jawaban. Seolah tak peduli, ia lalu beranjak dari duduknya, kembali menolak permintaan contekan tersebut.
"Kamu bisa melakukannya sendiri." Satya tersenyum lebar sebelum melangkah pergi dari tempat duduknya, mengabaikan Vigo yang mendengus kesal.
Sebenarnya, ia bisa saja dengan mudah memberikan contekan jawaban pada Vigo, tetapi Satya tidak mau. Bukan karena pelit, apalagi sombong. Ia hanya tidak ingin teman-temannya atau siapa pun mendapatkan sebuah hasil tanpa usaha. Bukankah sebuah kebanggaan bila berhasil karena usaha sendiri, tanpa bantuan orang lain?
Satya terbiasa hidup seorang diri semenjak sang ayah pergi tanpa pamit ketika ia berusia sepuluh tahun. Sejak saat itu, ia tidak pernah berharap pada siapa pun dan selalu berjuang sendiri tanpa dukungan orang lain.
Meski demikian, Satya tidak pernah marah pada mereka yang suka bergantung hingga berharap pada orang lain. Baginya, semua orang memilki cara menjalani hidup dengan sifat dan sikapnya masing-masing, termasuk dirinya.Setelah keluar dari ruang kelas usai menyelesaikan ujiannya, kini ia telah berada di kantin sekolah, membantu ibu-ibu yang berjualan. Penuh semangat laki-laki tersebut melayani pembeli atau hanya sekadar membersihkan dan merapikan tempat tersebut. Sebuah hal yang selalu dilakukannya setiap jam istirahat dan sepulang sekolah.
Tidak ada yang memintanya. Satya melakukan hal tersebut murni karena keinginannya, tanpa mengharap imbalan apa pun. Semua hal itu ia lakukan hanya untuk membantu orang lain, menjadi berguna bagi siapa pun adalah caranya untuk bertahan. Menurutnya, selama ia masih bermanfaat bagi orang lain, maka ia akan terus memiliki alasan untuk hidup.
***
Seperti hari-hari biasa, Satya mengayuh sepedanya dengan penuh semangat menuju tempat kerjanya setiap pulang sekolah. Dari siang hingga sore, ia menjadi kuli angkut barang di sebuah toko grosir, pada malamnya ia akan bekerja di warung makan sebagai pelayan.
Beratnya hidup yang ia jalani, membuat Satya harus bekerja keras di usia muda. Ia harus berjuang mencari nafkah agar dapat tetap hidup di dunia ini seorang diri.Ia tidak memiliki pegangan dan tempat untuk bersandar, apalagi berharap. Hidup tanpa siapa pun yang merengkuhnya sejak ia ditinggal pergi, membuatnya menjadi sosok yang tangguh.
Para tetangga lebih banyak menggunjing daripada membantu. Sekalipun ada, mereka tidak akan mungkin membantu selamanya, bukan?
Satya tidak ingin merepotkan siapa pun. Maka dua bulan setelah ayahnya pergi, ia memulai hidupnya seorang diri tanpa berharap pada orang lain.
***
Pemuda 18 tahun itu kini menatap langit malam yang kelam dan terus menjatuhkan tangisnya sepanjang hari. Musim penghujan memang telah tiba, nyaris setiap hari akan hujan deras. Sedikit mengganggu aktivitas memang, tetapi banyak yang bersyukur akan kehadirannya.
"Mau pulang sekarang?" tanya wanita pemilik warung makan pada Satya yang masih betah menatap langit malam.
Satya mengangguk. Anak itu tersenyum manis sambil menjawab pertanyaan wanita yang telah berbaik hati memberinya pekerjaan.
"Kalau begitu, hati-hati. Jangan mengebut membawa sepedamu."
Usai mengiyakan nasihat Ibu Sum, ia pun segera mengambil sepedanya yang diparkir di depan warung. Setelah mengucapkan salam, Satya kemudian melajukan sepedanya dengan hati-hati.***
Hujan sepanjang hari membuat jalanan menjadi licin, sangat berbahaya bila mengebut sekarang. Satya tentu tidak mau mengambil risiko, tak ingin hal buruk terjadi. Ia pun memelankan laju sepedanya ketika akan melewati perempatan, berhati-hati bila ada kendaraan yang akan melaju dari arah berlawanan tiba-tiba datang.
Merasa cukup aman, Satya kembali mengayuh sepedanya dengan hati-hati. Hingga tiba-tiba sebuah sorot cahaya menyilaukan menusuk pandangannya dari arah kanan.
Semuanya terjadi begitu cepat tanpa sempat Satya hindari. Tubuh kurusnya terhempas cukup jauh, menghantam aspal dengan keras dan berguling beberapa kali.
Pandangan Satya mengabur, sekujur tubuhnya terasa nyeri. Kepala seakan-akan di hantam begitu keras hingga pening begitu menyiksa. Sayangnya, ia tidak dapat berdiam diri untuk sekarang.Tak jauh darinya ia dapat melihat seseorang terkapar. Menggunakan sisa tenaga yang dimilikinya, Satya berusaha bangkit. Meski nyaris terjatuh, ia tetap berusaha untuk menghampiri sosok yang baru saja mengalami insiden dengannya. Berharap orang itu akan baik-baik saja.
Satya sontak terbelalak, kembali terjatuh begitu menatap wajah pengendara motor di balik kaca helm yang baru saja dibukanya. Satya dapat mendengar rintihan lirih dan lemah dari gadis tersebut, wajahnya yang penuh darah membuat Satya benar-benar tidak tega, tetapi ia dapat bernapas lega. Setidaknya, gadis itu masih hidup.
Satya menggigit bibir bawahnya, berpikir keras bagaimana caranya agar dapat menyelamatkan gadis itu. Sungguh, ia berharap ada seseorang yang menemukan mereka di sini, sebelum hujan semakin deras dan malam kian larut.
Sayangnya, jalan tersebut sangat sepi, terlebih saat hujan seperti ini. Hanya segelintir orang yang akan lewat, dan Satya tidak tahu kapan itu akan terjadi, sementara gadis di hadapannya semakin lemah. Suara rintihan makin tak terdengar.
"Astaghfirullah, Ya Allah," gumam Satya.Hujan semakin deras, dan menunggu bukanlah sebuah pilihan. Satya memaksakan diri untuk berdiri dari tempatnya. Namun, baru saja ia berdiri, ia kembali terjatuh.
Pandangannya mengabur, segalanya berputar, ia kehilangan keseimbangan dan kembali terduduk di atas aspal. Namun, bukannya merintih kesakitan, ia malah mentertawakan keadaannya.
Butuh beberapa detik sampai Satya kembali bangkit, tetap berusaha berjalan walau tertatih demi mencari bantuan. Satya terus berpikir untuk mencari bantuan secepatnya. Tidak mungkin gadis itu menunggu lebih lama lagi di bawah guyuran hujan. Sungguh, ia berharap mereka dapat selamat malam ini.
***
Satya berusaha mengontrol tarikan napasnya begitu sampai di warung makan tempat kerjanya. Beruntung ia dapat sampai ke tempat ini dengan selamat, setelah menempuh jarak sekitar 500 meter. Hanya tempat ini yang dapat ia harapkan, setelah nyaris putus asa karena tak adanya orang yang lewat, ataupun tempat terdekat lain yang dapat ia mintai bantuan.
"Vigo!" Satya langsung menarik-narik Vigo yang merupakan anak dari Bu Sum dengan kasar, membuat sahabatnya itu terkejut.
"Eh, Sat! Kamu kenapa, ha?" Vigo dengan sigap menahan tubuh Satya yang nyaris kehilangan keseimbangan.
Jantung Vigo seakan nyaris jatuh dari tempatnya. Sangat terkejut akan kehadiran Satya yang jauh dari kata baik-baik saja, dengan wajah penuh peluh bercampur darah mengucur dari kening."Tolong gadis itu, Go." Satya berucap lirih, berusaha mati-matian menjaga kesadarannya. "Kecelakaan ... di perempatan—"
Namun, belum sempat Satya mengakhiri kalimatnya, kegelapan lebih dulu mengambil alih. Sakit di sekujur tubuhnya mendadak hilang, rasanya seperti melayang hingga ia tak dapat merasakan apa pun lagi.
"Sat!"_______
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rasa
Teen FictionBukan keinginannya meninggalkan luka, tak ada niatnya menghancurkan hati yang selama ini berusaha ia jaga. Andai bisa memilih, tentu tidak akan pernah ia biarkan air mata itu luruh membasahi wajah gadis yang telah berhasil memberinya alasan terseny...