Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Satya kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa setelah mendapatkan izin dari Vigo yang selama ini bertindak protektif terhadapnya. Banyak larangan yang Vigo berikan padanya. Ia diharuskan beristirahat penuh oleh sahabatnya itu.
Di hari ke-empat, akhirnya ia meminta izin untuk kembali ke rumahnya. Sudah cukup baginya merepotkan keluarga Vigo selama beberapa hari terakhir. Lagi pula, ia sudah tidak ada alasan sahabatnya itu untuk melarang, melihat kondisinya yang sudah sehat seperti dulu.
"Tidak usah pulang juga tidak apa-apa, Sat. Tinggal di rumahku aja." Vigo kembali membujuk Satya untuk tinggal bersama di rumahnya saja, daripada harus tinggal sendiri.
Satya tidak menanggapi Vigo serius. Langkahnya terus ia bawa dengan santai memasuki ruang kelas. Beberapa hari absen membuatnya sangat merindukan suasana kelas. Kehadirannya langsung disambut hangat oleh teman-temannya. Beberapa di antara mereka pun menanyakan mengenai keadaannya saat ini. Hal tersebut membuat Satya merasa nyaman dan bersyukur memiliki sahabat dan orang-orang yang peduli padanya.
***"Terima kasih, Pak." Satya tersenyum ramah pada pria di hadapannya, usai membayar sepeda yang baru saja dibelinya. Akibat kecelakaan itu, Satya harus mengganti sepedanya yang tak dapat lagi digunakan.
Setelah melakukan transaksi, Satya pun menggunakan alat transportasi tersebut. Menurutnya, sepeda adalah yang terbaik karena harganya cukup terjangkau dibandingkan harus membeli motor.Ia pun dengan santai mengayuh sepeda barunya menuju rumah sakit. Tempat yang kini rutin Satya datangi setiap hari, menatap seorang gadis dari jauh, secara diam-diam untuk memastikan kondisi gadis tersebut.
Semilir angin yang berhembus tampak memainkan ujung rambutnya. Gadis tersebut masih bergeming dengan pandangan kosong ke depan, tenggelam dalam dunianya sendiri, mengabaikan apa pun di sekitarnya.
Satya menghela napas berat. Perih ia rasakan menatap orang yang sejak taddipandanginya secara diam-diam masih sama seperti hari-hari kemarin.
Namanya Aura, hanya itu yang ia ketahui. Gadis yang kini hidupnya tidak lagi sama, setelah kecelakaan tersebut. Satya memejam, merasa bersalah akan apa yang telah terjadi. Tak dapat mengelak bila dirinya adalah penyebab akan kehancuran Aura yang kini mengalami kelumpuhan.
Satya akhirnya kembali beranjak dari tempatnya, perlahan meninggalkan taman rumah sakit setelah menatap Aura dari jauh. Keberaniannya belum cukup untuk menyapa, ia masih tidak mampu menatap wajah dan tatapan kosong gadis itu lebih dekat.
Saat ini hanya secarik kertas yang ia mampu titipkan pada seorang perawat untuk diberikan pada Aura. Hanya itu yang dapat Satya lakukan. Sebuah tindakan pengecut. Mengirimkan untaian kata maaf akan rasa bersalah yang ia rangkai.
"Pengecut!"
Langkah Satya sontak terhenti mendengar teriakan tersebut hingga ia berbalik. Dilihatnya Aura meremas kertas itu dan membuangnya. Bukan hal baru bagi Satya akan hal tersebut. Sudah teramat sering ia melihat Aura melakukannya usai membaca apa yang ia tuliskan.
Satya tidak memohon pengampunan akan kesalahannya. Ia tahu apa yang diperbuat tidak akan mengubah segalanya. Namun, untuk saat ini ia tidak dapat bertindak lebih. Ia butuh waktu.
***
Mengunjungi rumah sakit kini menjadi aktivitas rutin Satya. Mengamati gadis itu secara diam-diam dari jauh. Namun, hari ini Satya tidak dapat melihatnya lagi.
Ruang rawat gadis itu telah kosong. Aura telah keluar dari rumah sakit, entah sejak kapan. Kabar itu membuat Satya merasa lega karena dengan begitu kondisi Aura pasti telah membaik, tetapi di saat yang sama juga merasa kecewa. Sebab, tak tahu lagi dapat bertemu gadis itu di mana.
"Oh, ya, dia menitipkan ini."
Satya menatap secarik kertas yang diberikan perawat tersebut. Ia tersenyum tipis, dengan perlahan ia membuka lipatannya, berharap akan ada secercah harapan. Sayangnya, ia kian merasa putus asa setelah membaca apa yang tertulis di sana.
"Boleh saya tahu alamatnya, Sus?" tanya Satya pada perawat yang selama ini membantunya mengirim pesan untuk Aura
"Maaf, saya tidak bisa melakukannya."
Satya mengangguk paham, tentu saja ia tahu batasan itu. Namun, ia membutuhkannya. "Setidaknya, tolong kasih saya petunjuk agar dapat bertemu dengannya," pinta Satya.
Perawat tersebut terdiam cukup lama. Ia tahu apa yang telah terjadi di antara keduanya. Namun, ia tidak dapat terlibat terlalu jauh hingga dapat membuatnya dalam masalah.
"Metro High School, dia bersekolah di sana." Perawat itu pada akhirnya berucap. Hanya itu yang dapat ia katakan pada Satya saat ini.
"Makasih banyak, Sus," ujar Satya ramah sebelum pergi.
***
Ia menggenggam kertas itu dengan erat. Kakinya semakin ia pacu untuk mengayuh sepedanya di bawah terik matahari. Setelah menempuh perjalanan sekitar 25 menit, kini ia telah sampai di alamat yang diberikan perawat tadi. Sekolah swasta yang cukup difavoritkan itu tampak sangat menakjubkan.
"Permisi," ujar Satya pada satpam yang berjaga di depan pagar.
"Ada apa?" tanya satpam itu ketus.
"Apa di sini ada siswi yang bernama Aura?"
Satpam tersebut mengerutkan kening akan pertanyaan Satya. Ia menatap anak itu tajam, memperhatikan penampilan Satya dari atas sampai bawah. "Aura siapa yang kamu maksud? Setahu saya, ada tiga siswi yang bernama Aura di sini," ujarnya.
"Gadis yang baru saja mengalami kecelakaan." Satya berujar pelan.
"Ah, anak itu," ucap sang satpam dengan helaan napas kasarnya dan menatap Satya penuh selidik. "Kenapa mencarinya? Kamu siapanya?"
"Saya ingin bertemu dengannya, tapi saya tidak tahu alamatnya," jawab Satya.
"Ah, begitu, tapi maaf. Saya juga tidak tahu alamatnya, pergilah!"
Satya mengangguk mengerti. Ia tahu tidak akan mudah mendapatkan jawaban di mana alamat gadis itu. Ia pun dengan berat melangkah pergi meninggalkan sekolah mewah tersebut.
Di tangannya, ia masih menggenggam kertas itu dengan erat dan penuh tekad. Berharap menemukan gadis itu sebagai tanda
permintaan maaf dan rasa bersalahnya.___
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rasa
Teen FictionBukan keinginannya meninggalkan luka, tak ada niatnya menghancurkan hati yang selama ini berusaha ia jaga. Andai bisa memilih, tentu tidak akan pernah ia biarkan air mata itu luruh membasahi wajah gadis yang telah berhasil memberinya alasan terseny...