02. Tanggung Jawab

11 3 0
                                    

Seulas senyum tipis menghias wajah pucatnya. Gelak tawa, keceriaan, dan kebersamaan keluarga di hadapannya terasa begitu hangat. Ia turut larut dalam kebahagiaan salah seorang pasien yang saat ini tengah dibesuk oleh para kerabat.

Satya menerawang, hal tersebut adalah mimpi yang selama ini ia harapkan. Berada di tengah-tengah keluarga, merasakan hangat pelukan, hingga belaian lembut tangan orang tuanya. Sebuah angan yang tidak akan pernah terwujud. Ibunya telah meninggal setelah berhasil membuatnya terlahir di dunia ini, sementara sang ayah menghilang tanpa jejak.

Suara pintu yang tengah dibuka menarik perhatiannya. Ia mengulum senyum menatap Vigo yang menghampiri dengan penuh semangat. Gurat lelah dan cemas sahabatnya itu tersamarkan oleh raut wajah cerah yang menggambarkan kelegaan.

"Bagaimana keadaanmu? Merasa lebih baik?" tanya Vigo menatap lekat Satya yang telah berhasil membuat cemas sejak semalam, hingga menyebabkannya kehilangan fokus ketika berada di sekolah.

"Seperti yang kamu lihat sekarang, aku baik-baik saja. Lusa, mungkin sudah bisa pulang."

"Lusa?"

Satya mengangguk, menatap Vigo yang penuh semangat dengan mata berbinar yang ia sukai. "Aku sudah baikan, Go. Jadi, sudah bisa keluar."

"Alhamdulillah, syukurlah."

Senyum Satya kian merekah, melihat Vigo yang tampak senang dan lega akan kalimatnya tadi. Membuat dirinya benar-benar bersyukur mengenal Vigo dalam hidupnya selama beberapa tahun ini.

"Oh, iya! Ibu mana?" tanya Vigo menatap ruangan tersebut, mencari keberadaan ibunya yang tidak terlihat sejak tadi.

"Ia sedang menemui keluarga gadis itu."

Vigo mengangguk, menanggapi jawaban Satya, mengingat ibunya sempat mengatakan hal itu pagi tadi sebelum ia pergi sekolah. "Sat, menurutmu ... apa mereka akan memperkarakan kasus ini?" tanya Vigo hati-hati.

"Entahlah, kalau memang harus, aku akan menerimanya. Bagaimana pun juga aku bersalah."

Satya menanggapi santai pertanyaan Vigo dengan seulas senyum di wajahnya seperti biasa. Ia siap dengan segala risikonya nanti, bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Baik itu kesalahannya atau bukan.

"Katanya, gadis itu masih belum sadar. Aku benar-benar takut dengan kondisinya. Aku ... tidak akan jadi pembunuh, bukan?" Satya bertanya pelan. Ia tidak dapat menutupi keresahannya seperti biasa.

"Semua itu bukan salahmu, Sat. Kamu tidak menabraknya, kan? Justru, dia yang menabrakmu. Lagi pula, itu kecelakaan. Jadi, apa pun yang terjadi bukan salahmu."

Vigo menatap Satya lekat. Ia memang belum mengetahui segalanya dengan jelas akan apa yang terjadi. Namun, ia percaya bahwa sahabatnya tidak bersalah. Satya adalah orang yang selalu berhati-hati.

***

Satya bergeming, menyaksikan gadis yang menjerit histeris dalam ruang rawat elit untuk kalangan atas. Jerit pilu dari dalam sana terdengar begitu menyakitkan.

"Pergi!"

Satya terhuyung, nyaris terjatuh bila saja tidak mampu menyeimbangkan tubuhnya. Ia didorong dengan kasar oleh pria yang telah membawanya keluar paksa dari ruangan tersebut.

"Saya minta maaf," ujarnya menunduk di hadapan pria tersebut dengan segala kerendahan hati.

"Maafmu tidak ada gunanya. Putriku tidak akan sembuh hanya dengan kalimat itu. Pergilah! Jangan sampai saya berubah pikiran untuk tidak memenjarakanmu!"

Dingin dan angkuh. Seperti itulah pria tersebut. Ia menatap tajam pada Satya yang hanya menunduk di hadapannya. Kedua tangannya terkepal, menahan emosi. Ingin rasanya ia melayangkan pukulan pada orang yang telah membuat putrinya seperti sekarang.

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang