PERINGATAN TERAKHIR!
Cerita ini berstandar 15 tahun ke atas!Terdapat konten narasi brutal dan deskripsi berdarah yang tidak disarankan bagi mereka yang di bawah umur!
[Glosarium (*) kini tersedia di bagian kolom komentar paragraf.]
HARI menjelang senja, membuat langit-langit Kota Moun meredup oleh kontur warna jingga. Kaca-kaca gedung pencakar langit memantulkan siluet kemerahan. Jalanan kota ramai didesaki pejalan kaki. Pukul 16:34 sore, jam pulang.
Marvel menutup pintu kaca. Dia menghela napas letih, bersiap untuk kembali ke rumah. Dia menjinjing gable box* berlabel Tapâc Pâtisserie. Dia berhenti di depan kantornya, melirik ke dalam oleh-oleh di tangannya, kukis. Marvel tersenyum tipis. Setidaknya kue ini cukup untuk mereka.
Lampu persimpangan berubah merah. Langkah-langkah lebar itu berhenti. Marvel menunggu di ujung trotoar, memikirkan perkataan Samsul yang masih terngiang di benaknya.
"Pekerjaanku ini melibatkan nyawa, loh. Kalau pun masuk, itu bukan karena uang, tapi niat dari diri sendiri."
Marvel mendengus pelan. Bukan uang katanya, padahal pendapatannya cukup tinggi untuk menjamin kehidupannya. Jika dipikir lagi, bahaya juga jika harus bekerja di antara hidup dan mati. Memangnya pekerjaan seperti apa yang Samsul hadapi dari kantor pusat? Biro Keamanan juga polisi, 'kan? Mereka cuma punya pangkat yang lebih tinggi saja.
Lampu jalan mengeluarkan suara denting kecil, beralih menjadi hijau. Zebracross mulai memadat. Suara sepatu berderap terburu-buru. Marvel mendongak ketika menangkap sesuatu berkelebat di ujung matanya. Seseorang berpakaian serba gelap melewati punggungnya. Kepalanya menunduk dalam, menutupi wajah dengan topi fedora hitam.
Marvel terhenti. Hawa dingin merambat melalui akar-akar syarafnya. Dia menoleh ke belakang hanya untuk mendapati persimpangan yang ramai. Sosok itu telah menghilang seusai melintas di sebelahnya, bagikan khayalan semata. Dia memegang tengkuk lehernya.
"Kok jadi merinding gini..." Marvel berbalik, berupaya melupakan apa yang terjadi.
***
Hari semakin malam. Rembulan menampakkan dirinya. Bulat utuh, membuat langit terlihat lebih remang. Marvel tiba di daerah pinggiran kota, perbukitan kecil, mendaki tangga batu di antara rumah-rumah yang kumuh. Dia menyimak pemandangan kota, terang menggapai langit dengan gedung-gedung tinggi yang memakan cahaya bintang.
Marvel termangu ketika dia menjejakkan kaki di atas rumput pendek yang kasar. Dia sampai sebuah taman bermain. Perosotan yang dingin, tangga yang rapuh, bak pasir yang keras, tiang-tiang yang keropos oleh waktu, semuanya masih berdiri di lapangan yang luas ini. Terdapat bekas goresan cat pelapis baru di atapnya. Ada yang masih merawat taman bermain itu.
"Sayang aku sudah terlalu dewasa untuk bermain lagi." Marvel berhenti sejenak, mengaggumi. Dia tersenyum simpul memandangi bangunan tua itu. Lintasan kenangan merasuki ingatannya. Bagaimana keseruannya berlarian dengan teman-temannya, bergelantungan, bertaruh siapa yang bisa memanjat lebih tinggi. Marvel selalu menang, dia anak yang paling lincah, tidak bisa diam. Masa kanak-kanak itu sudah berlalu dan tidak akan kembali lagi.
Marvel tiba di sebuah rumah sederhana. Pagar berderet di sisi jalan, ditumbuhi semak merambat. Tangga kecil dan daun pintu kayu yang lapuk menyambut. Susunan batu bata terlihat di balik dinding yang terkelupas. Pipa-pipa kecil menggantung di sisinya. Rembesan air mengalir, berdenting, menitik ke kaleng-keleng kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEMOPHILA: Black Code [Novel Adaptation]
Fantasy❗15+❗ Original Comic: https://trakteer.id/reiji_rainmelfie Marvel, seorang pemuda yang berstatus sebagai polisi kantor cabang mengalami rentetan kejadian tidak terduga-duga. Kehidupan yang damai berubah saat dia diharuskan berurusan dengan penggalan...