Busur Sang Pemanah

3 0 0
                                    


"Orion meninggal tadi pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Orion meninggal tadi pagi."

"Serius?!" Travi, rekan kerjaku yang lain, berseru dengan kaget sembari menoleh ke arah Saga, rekan kerjaku yang membuka percakapan. Spontan seisi losmen ikut menoleh tertarik mendengar suara kerasnya. Aku, Travi, dan Saga sama-sama meringis dengan muka bersemu merah. Untungnya saat itu, losmen tidak seramai biasanya. Di hari lain, para tamu akan duduk-duduk di kedai losmen sambil bercengkrama atau mendengarkan ocehan Tomas tua mengenai kelinci gaib pencuri wortel, sementara para ksatria dan para pendeta akan membentuk kelompok terpisah. Di tengah-tengah keramaian itu, aku dan rekan-rekanku akan bebas mengobrol tanpa didengar oleh para tamu yang sibuk dengan urusan mereka sendiri. Tapi hari ini, gara-gara tamu yang datang tidak terlalu banyak, percakapan kami jadi terdengar sampai ujung ruangan tempat Bibi Marlo—si pemilik losmen—bertakhta. Kedua matanya yang dipasangi celak mendelik galak ke arah kami.

"Jadi, Orion Si Hebat itu meninggal?" Travi bertanya dengan suara lebih pelan.

Saga mendesah. "Begitulah. Ia pergi terlalu cepat."

"Justru aku mengharapkan dia pergi dengan cepat," kataku. "Kabarnya, dia selalu membuat onar di desa sebelah."

"Padahal dulu dia terpandang!" seloroh Travi. "Julukannya saja Sang Pemanah! Dia pernah melatih ksatria-ksatria muda di kastil, ingat? Ia punya sebidang tanah empat hektar yang diwariskan kepadanya setelah ia pensiun."

"Lebih tepatnya dipensiunkan setelah kehilangan sebelah tangannya gara-gara berburu kijang di Hutan Perak," kataku.

"Ah, sebuah tragedi yang mengerikan," sesal Saga. "Dulu, ia mampu memanah sebutir buah apel di pucuk pohon setinggi lima belas meter dengan sekali tarikan busur, menyumpit seekor ikan yang berenang cepat di jeram yang deras cukup dengan mengikuti aliran arusnya, dan menombak seekor babi hutan yang bergerak diantara semak-semak berjarak lima ratus meter dari pertaniannya!"

"Cih, Orion terpandang sampai ia memutuskan jadi seorang pemabuk dan tukang judi!" timpal seorang pria berusia enam puluhan yang kakinya diletakkan di atas meja. "Malang benar nasibnya."

"Kematian tragis untuk seorang pahlawan! Ya, kan, Ard?" kata Travi sambil menyodok lenganku. "Menurutmu, apa komentar ibumu kalau mendengar hal ini?"

"Entahlah. Ibuku terlalu sakit untuk mengangkat kepalanya," keluhku. "Boro-boro memikirkan tentang kematian seorang pria, bicara soal ayahku saja dia belum pernah."

"Kalau ayahku seperti Orion, ibuku pasti juga enggan membicarakannya," seloroh Travi.

Mau tak mau, aku tertawa. "Omong-omong, sepertinya aku mau pulang lebih awal hari ini, Teman-teman."

"Ada apa, Ard? Ibumu kambuh lagi?" Saga tampak cemas.

"Tidak. Semoga saja tidak. Aku sudah janji pada Ibu bahwa aku akan membacakannya cerita malam ini," sahutku. "Ibuku suka kisah-kisah klasik, dan semenjak Tabib menyatakan bahwa ia tidak bisa bangun lagi untuk menjangkau buku-bukunya, aku harus membantunya menyalurkan hobi."

Never WhereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang