"Nun di sebuah istana yang megah, tinggallah seorang ratu yang seumur hidupnya tidak bahagia.
Ia memang memiliki sepertiga harta seluruh kerajaan, gaun-gaun yang indah, serta pelayan-pelayan yang setia, namun sekaya apapun dirinya, ia masih tidak bisa tersenyum atau tertawa.
Sang Raja selalu mengadakan pesta, dihadiri oleh bangsawan dari penjuru dunia, namun Ratu tidak pernah menikmatinya. Ia tidak peduli dengan kilapan lampu, alunan musik, atau cantiknya dekorasi di lantai dansa. Yang ia pedulikan hanyalan secercah pemikiran, bahwa canda dan tawa yang dilihatnya ialah kepalsuan belaka..."
"Neracissia! Kaukah yang menyalakan lilinnya? Sudah waktunya tidur!" Sayup-sayup suara Suster Emilia dari luar perpustakaan mengagetkanku. Aku buru-buru menutup buku dongeng yang tengah begitu asyik kubaca. Judulnya 'Ratu Negeri Tanpa Bahagia,' dongeng favoritku sejak kecil. Ya, sudah ratusan kali aku membacanya, tapi tak kunjung diriku bosan juga. Tokoh utamanya, Sang Ratu, bagiku ialah seorang pahlawan tragis dalam kisah ber-ending ambigu itu. Entah dia akhirnya menemukan kebahagiaan atau tidak, tiada yang pernah tahu.
Kuambil lilin dari atas rak buku, kemudian kubawa lilin itu di tangan kanan, menuntun jalanku keluar perpustakaan, sembari menenteng buku tadi di tangan kiri. Suster Emilia menungguku di koridor membawa candelabra—tempat lilin berukir—di salah satu tangannya, sementara satu tangannya yang bebas disembunyikan di bawah jubah merah marun dari wol yang menutup tubuhnya hingga ke mata kaki. Jubah merah marunnya itu tampak kontras dengan kerudung putih yang membungkus kepalanya, layaknya wanita-wanita religius lainnya yang tinggal di kapel. Memandangku, ia mendecak-decakkan lidah.
"Neracissia, kau tahu besok pagi ada upacara apa?"
"Ya, Suster Emilia," keluhku. "Tapi, aku pikir..."
"Tidak ada kata 'tapi,' Nona Muda," kata Suster Emilia tegas. "Kita sudah membahas ini berulang kali. Upacara Pentahbisan Mermont adalah tradisi turun temurun yang menggunakan musik harpa sebagai pengiring doa. Dan kau, sebagai pemain harpa, bertanggungjawab untuk tampil bersama paduan suara."
Aku merengut. "Tidak bisakah kalian menyuruh anak di kamar sebelah? Eh, siapa namanya? Roseling? Permainan harpanya lebih bagus dariku, dan dia lebih cantik."
"Roseling memang dijadwalkan tampil, tapi sayangnya dia sedang sakit cacar."
"Apa?! Cacar?! Di saat mendadak begini?"
"Jangan sok kaget begitu, Nak. Salahmu sendiri tidak mempersiapkan diri untuk saat mendadak itu."
"Ini tidak adil! Tidak adil!" seruku.
"Hentikan omong kosongmu, Nak. Bagaimanapun juga, Suster Nakia sudah menetapkanmu sebagai pengganti Roseling."
"Tidak! Aku tidak mau tampil!"
"Itu tanggungjawabmu sebagai seorang anggota keluarga Mearain. Kalian selalu harus siap untuk tampil," kata Suster Emilia tidak peduli.
"Kalau begitu, aku akan jadi Mearain pertama yang menolak tampil," kataku keras kepala. "Kalian tidak bisa memaksaku menggantikan Roseling begitu saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Where
FantasyAlkisah, di sebuah negeri yang jauh, banyak hal yang sudah terjadi. Kamu akan mendengar desas-desus dan berbagai kisah, mulai dari hal-hal misterius, cerita yang mengharukan, hingga berbagai konspirasi yang menakutkan. Kamu akan berjumpa dengan pemb...