Orang-orang gipsi yang sering mampir di kedai minum tempatku bekerja seringkali bikin kegaduhan.
Mereka bukan hanya mabuk-mabukan sambil menakut-nakuti pengunjung lainnya dengan cerita-cerita perampokan, tapi juga suka pergi tanpa membayar birnya. Sebetulnya, Pak Shaughnessy, si pemilik kedai, adalah pria yang tegas dan punya prinsip yang tinggi, tapi beliau sudah tua dan memilih tidak menegur daripada harus berhadapan satu lawan satu dengan tinju terangkat.
Alhasil, kelakuan gipsi-gipsi itu pun semakin menjadi-jadi. Salah satu pengunjung wanita pernah komplain pada kami suatu hari: "Pak, sebaiknya Anda melaporkannya pada constable," katanya. "Mereka sudah kelewatan. Bukannya saya bersikap rasis atau bagaimana, tapi ada kalanya Anda harus benar-benar tegas menindaklanjuti hal ini."
Constable adalah sebutan bagi pria-pria besar yang berfungsi sebagai penegak hukum di desa kami, Riverway. Tugasnya adalah mejaga perdamaian penduduk asli dengan pendatang—yang termasuk diantaranya para gipsi. Akan tetapi, tentu saja para gipsi ini memiliki kecerdasan bersilat lidah untuk mengelabui para constable. Sekali tertangkap, mereka akan kembali menemui rumah minum atau penginapan lainnya untuk menularkan kegaduhan yang lebih bikin pusing.
"Sudahlah, asalkan mereka tidak membunuh siapa pun, aku rasa mereka masih punya hak untuk menjarah setiap tetes bir dalam gentong-gentong itu," kata Pak Shaughnessy sembari menghela napas. "Hei, Saga! Jangan bengong saja di situ! Bawa gelas-gelas kotornya ke wasbak, sana!"
"Laksanakan, Pak!" balasku, tersadar bahwa sedari tadi aku sibuk memperhatikan seorang wanita cantik berpakaian bagus yang masuk kedai. Pak Shaughnessy geleng-geleng kepala.
"Baru tiga bulan kau kutampung bekerja di sini semenjak Marlo tua mendepakmu dari penginapannya, sudah jadi mata keranjang saja!" ujarnya cempreng.
"Maaf—maaf, Pak," kataku sambil buru-buru meraih gelas-gelas kosong di meja terdekat. Pipiku pasti sudah semerah udang rebus sekarang—kalau saja aku punya cermin untuk memperhatikannya.
Pak Shaughnessy biasa memberiku upah seminggu sekali. Akhir pekan ini, dari hasil kerja kerasku, aku menerima dua belas keping uang emas—yang bisa ditukarkan dengan satu kilo telur dan sekantong gandum, sementara sisanya kutabung untuk membeli pedati baru. Dengan pedati itu, aku bisa mengangkut hasil panen pamanku lebih cepat ke pasar.
Oh, ya, aku bukan berasal dari Riverway. Kampung halamanku berjarak kira-kira tiga belas setengah kilometer dari Riverway, tapi bukan berarti aku merantau tanpa alasan. Desa ini adalah tempat kelahiran ibuku. Pamanku, Siegfred, adalah adik laki-laki ibuku. Ia tinggal bersama istrinya, Hilda, di pondok kecil yang nyaman. Di belakang pondok mereka ada ladang jagung luas yang menjadi sumber pendapatan keluarga.
Paman Siegfred dan Bibi Hilda punya seorang anak bernama Erlan. Sayangnya, anak ini terlalu kikuk dan sakit-sakitan untuk membantu di pertanian, sehingga akulah yang paling sering turun tangan. Meskipun demikian, Erlan bukanlah anak yang manja. Dia sering datang ke ladang membawa makan siang untuk Paman dan aku, atau ikut Paman berburu musang yang mengganggu pertumbuhan jagungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Where
FantasyAlkisah, di sebuah negeri yang jauh, banyak hal yang sudah terjadi. Kamu akan mendengar desas-desus dan berbagai kisah, mulai dari hal-hal misterius, cerita yang mengharukan, hingga berbagai konspirasi yang menakutkan. Kamu akan berjumpa dengan pemb...