PROLOG

20 2 0
                                    

Salam hangat, Alea.

Aku bukan lagi remaja puber, dibilang dewasa mungkin tapi masih tahap belajar pendewasaan diri. Kuliah? Dulu aku sempat belajar di kebidanan selama lima semester dan aku memutuskan pindah ke sekolah kedinasan. Kedinasan itu sekolah bagi pelayan masyarakat, abdi negara katanya.

Empat tahun pendidikan, satu tahun pertama terlewati dengan sangat mengesankan.

Tahun kedua, aku mengenal lebih banyak arti kehidupan. Mungkin di tahun pertama aku membawa bekas cerita ke tahun selanjutnya. Mencintai orang secara ugal-ugalan adalah gayaku. Benar saja, tahun pertama sia-sia sebab tak terbalas hingga tahun kedua datang seseorang, seniorku, menggantikan posisi dia yang tak membalas. Dengan gigihnya dia bahkan ketika aku tak menolehnya, tapi aku tidak sadar bahwa perlakuannya tidak hanya ditujukan padaku.

Naas, cuma dighosting rupanya. Apalah daya, tidak mungkin aku menuntut senior kan?

Siap salah.

Selanjutnya? What happen in the third year? Im trying my best to move on, hampir setahun lamanya. Kuulangi lagi, aku mencintai secara ugal-ugalan. Itu salahku. Trauma? tentu.

Beratnya pendidikan, selalu kuselipi doa dan 'lewat-lewat ji' sebagai jimat.

Akupun seorang introvert. Berkenalan dan bersosial bukan passionku. Tapi, kewajiban adalah kewajiban. Tugas praktik lapangan mengharuskanku bersosial dengan masyarakat, dan tentunya teman baruku, yang kusebut 'Sopel' atau Sobat Praktik Lapangan.

Sebulan aku menjalani praktik lapangan. Aku menambah circle pertemanan dan seasik itu jika kita sudah saling mengenal. Aku dan kelompokku beranggotakan 12 orang termasuk aku, pagi siang malam selalu bersama. Disana aku tidak bersama 'sokon' atau sodara kontingen atau yang lebih gampangnya lagi saudara se-asal pendaftaran. Jadi mungkin yang kukenal disitu hanya segelintir orang, termasuk orang-orang baru di kelompokku.

Hampir aku dilema oleh dua orang setelah kepulanganku dari praktik lapangan itu. Dua orang yang sama-sama baiknya dimataku. Dengan penuh pertimbangan, aku mencari keputusan terbaik ini sendirian. Mengapa demikian? Ini plot twist awal yang harus ditau. Kita tidak boleh pacaran dengan beda asal pendafataran atau namanya 'tidak boleh keluar kontingen'. Catat, itu penting.

Jadi, aku memutuskan demikian sendirian. Karena tidak bisa banyak orang tau, atau aku yang habis nantinya. Aku memutuskan lebih mengintenskan komunikasi dengan Enrico.

Sebelumya, kubangun dengan kokoh tembok keyakinanku aku tidak mau lagi berhubungan dengan lawan jenis setelah trauma yang paling sadis dalam perjalanan. Trauma yang diciptakan oleh orang yang kupikir dia obat, ternyata dia juga penyakit hanya beda jenis. Setelah Enrico datang, tembok tinggi nan kokoh itu hancur dengan aku yang tidak sadar diri. Seperti menjilat ludah sendiri.

Beda kontingen ini sangat sangat menantang. Poinnya adalah jangan sampai ketahuan kontingen dia atau kontingenku sendiri. Posisi itu sama-sama membahayakan kami berdua.


NEPENTHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang