Aku bercanda gurau dengan sokon dekatku hari pesiar itu. Aku membeli banyak makanan dan mereka sangat menyukai kebiasaanku itu. Abang kontingenku, Ghani, yang lebih dekat denganku daripada yang lain meminjam hpku.
"Dek, boleh abang pinjam hpnya? Mau stel musik nih, sepi"
"Aku aja bang, mau lagu apa?" kataku.
Aku tidak bisa meminjamkan hpku pada siapapun termasuk sokonku karena sikap bucinku itu merambat ke fotoku dengan Enrico menjadi wallpaperku.
"Terserah, lagu-lagu playlist kafe gitu aja asik" ucap Ghani.
"Oke." Ucapku
Tidak lama, dari ruang tengah abangku yang lain memanggil kami yang cewek.
"Thalia, disitu ada siapa aja?" Ucap Bang Rendy agak berteriak.
"Alea, Rafa, sama Cony aja bang" Ucap Thalia.
"Yaudah sini dulu semua, kumpul" Perintah Ghani.
Aku dan kawanku berjalan santai menuju ke ruang tengah. Aku melihat Thalia seperti akan ada sesuatu, aku curiga. Tidak lama juga abang-abang yang lain juga datang mengelilingi kami cewek, menambah kecurigaanku. Sekitar tiga orang abangku mengelilingi kami cewek berempat.
"Ada apa nih, rame-rame" batinku.
"Jadi, abang mau langsung to the point aja. Kalian tau kan, tujuan dari doktrin-doktrin kenapa kita nggak boleh keluar kontingen?"
"Tau" ucap cewek-cewek disitu.
"Tau juga kan apa-apa aja yang bisa buat kita dikeluarin kontingen?" Tanyanya sekali lagi.
"Hah? Masa iya aku zonk." batinku gugup, sangat gugup.
Drama dan perdebatan keributan antara Rendy dan Rafa, Cony, dan Thalia yang menyatakan bahwa indikasi kedekatan mereka bertiga dengan kontingen lain. Bahkan mereka bertiga menyangkal pun masih dielak oleh Rendy dengan diperkuat bukti.
Aku dengan penuh cemas menunggu giliranku dihakimi. Jawaban apa yang akan kusiapkan, zonk mana yang akan ditunjukkan oleh abangku Rendy itu. Tanganku tidak bisa tenang merangkul lututku yang sangat kelihatan gugup itu. Mataku melirik kanan kiri melihat abang-abangku yang benar-benar menatap kami mencari kebenaran di mata kami.
"Alea, ada cowok yang deketin kamu?" Dang, giliranku tiba. Entah apa yang harus kujawab. Iya, tapi akan kujawab siapa. Tidak, tapi mereka daritadi sudah membawa bukti.
"Um, sejauh ini tidak ada." Jawabku tanpa ragu.
"Serius?" Tanya Rendy masih calm.
"Iya dong, Bang Ghani ... " lirihku pada abangku satu itu, memohon pertolongan agar aku diselamatkan dari situasi mencekam itu.
"Kemarin kamu dipanggil senior itu, nametagmu bukan yang kamu pake ini sekarang dimana?" Tanya Rendy.
"Aw shit, zonk nametag kemarin." Aku sangat-sangat tidak bisa mengelak karena kejadian kemarin sudah zonk sebasah-basahnya.
Aku diam. Malah datang lagi satu orang abangku, Denis, yang paling dewasa diantara kami.
"Jujur aja, teman-temanmu pun sudah jujur tadi. Abang harus tau biar abang bisa bela kalian kalau kalian dikeluarkan kontingen. Kalau nggak jujur, abang nggak tau harus bilang apa sama sokon abang yang lain. Mau jujur nggak?" Ucap Rendy.
"Jadi gini dek, udah ada pembelajaran. Entah itu kontingen sendiri atau kontingen lain yang sudah dikeluarkan itu nggak enaknya gimana. Bukan berarti abang mau bikin adek keluar kontingen. Justru kalo abang tau, abang bisa amankan adek." Ucap Denis.
"Sebenernya abang-abang ini juga udah tau siapa, cuma mau adek jujur aja. Gampang kok nyarinya, dari nametag adek itu abang sortir satu-satu, sekarang pun abang udah punya nama" lanjutnya.
"Dia pemain band bukan?" Denis sangat mendesak jawabanku.
Aku mengangguk pelan, tidak berani menatap mata abang-abangku.
"Kamu pacaran?" tanya Denis lagi.
Aku kembali mengangguk
"KAMU TAU RESIKO KELUAR KONTINGEN APA, MASIH KAMU BERANI MAIN-MAIN?" bentak Rendy padaku.
Aku sangat kaget, tidak bisa menerima hentakan bang Rendy itu. Sungguh sangat menyakitkan, caranya bicara, sikapnya.
Mataku sudah berkaca-kaca, mengeluarkan suara pun terbata-bata. Sakit hati yang kurasa saat itu. Memang aku salah, tapi tak bisakah Bang Rendy lebih memahami hati perempuan? Aku lebih menghargai Bang Denis karena sikapnya dewasa walau tak sering bersua denganku daripada Bang Rendy yang kejam itu.
"Kamu selama ini dekat sama Ghani, kamu nggak kasihan sama dia? Kamu nggak tau perasaan dia ke kamu?" Tanya Denis.
Aku melihat Bang Ghani yang terduduk termenung melihat pengakuanku. Aku sudah tidak tau harus bicara apalagi, mataku sudah mengabur oleh air mataku. Aku cuma mau bilang maaf ke Bang Ghani saja tidak bisa.
"Adek yang pilih aja, minta pacarmu itu izin ke abang, atau abang yang datang ke dia." Tanya Denis lagi.
"Abang mau liat keseriusan dia ke adek aja, abang nggak mau adek dimain-mainkan. Kalo sampe abang yang datang ke dia, berarti dia cuma main-main ke adek. Terus adek yakin sikapnya itu gentleman?"
Aku mengangguk lagi, tidak tau apa yang harus kujawab. Kosong pikiranku.
"Abang mau dalam 2x24 jam, pacarmu udah izin langsung ke abang ya. Diluar itu, abang datang sendiri untuk klarifikasi kalau kalian harus putus." Ucap Denis.
Aku mengangguk. Benar-benar kosong pikiranku, tidak ada yang membelaku. Bahkan teman cewekku saja tidak berani bicara sedikitpun tentang masalahku. Kubiarkan mereka semua menghilang satu per satu, hingga aku berani beranjak berdiri tanpa mereka lihat aku sedang rapuh serapuhnya saat itu.
Hancur sekali, aku tidak mau melepas kebahagiaan yang baru aku dapat itu. Tapi dengan Enrico minta izin pun hasilnya tetap akan sama, tidak ada toleransi untuk keluar kontingen. Hal itu sudah menjadi peringatan pertama dan terakhirku.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEPENTHE
RomanceTrauma datang dari orang yang kita sayang. Tak lama setelah disembuhkan, secara tak sadar ia rangkai kembali trauma itu. Berulang.