Gue bakal jamin kita bisa bersama, walau semesta tak merestui, Flora. You are mine.
Gue juga sayang sama lo, Freyana. Tapi please, sayangi diri lo sendiri.
•|||||•
Freyana Zahra Putri. Sebuah nama nan indah yang diberikan oleh kedua orang tuaku, sebagai satu-satunya anak yang mereka miliki. Ini adalah kisah hidupku melawan semesta yang menguji seberapa kuat aku.
3 tahun yang lalu, keluarga kecilku "diusir" dari rumah Kakek dan nenekku. Tempat di mana aku telah hidup selama 16 tahun itu terpaksa kutinggalkan.
Keluarga kecilku memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan yang cukup jauh dari rumah Kakek nenek, tetapi masih satu kota. Di sinilah semuanya dimulai.
Diusirnya kami dari rumah itu bukan tanpa alasan. Kakek nenek ku sudah lelah dengan pertengkaran yang sering terjadi antara kedua orang tuaku.
Hanya karena masalah yang sangat sepele saja, mereka bisa bertengkar hebat, tak heran jika kakek nenekku mengusir kami. Mereka juga butuh ketenangan di masa tua.
Meski begitu, kakek dan nenekku masih menyayangi diriku sebagai satu satunya cucu mereka.
Apa gue bisa bertahan tanpa Oma dan opa ya? Selama ini rasanya gue terlalu bergantung sama mereka. batin Freyana di depan rumah kontrakan yang tidak begitu mewah, tetapi cukup untuk kami huni bagi keluarga yang hanya berjumlah 3 orang.
Langit malam nan tenang membuat rumah yang sederhana ini terlihat begitu nyaman. Terangnya cahaya rembulan, serta bintang yang samar-samar menunjukkan dirinya menjadi penyempurna lukisan sang pencipta.
"Freyana! Tolong bantu Papamu angkatin barang tuh, jangan cuma bengong doang!" Teriak Ibu Freyana, Yessica Chanda Putri. Wanita paruh baya berusia 36 tahun, dengan postur badan yang cukup tinggi, serta rambut blonde khas orang orang barat.
Freyana menganggukkan kepala, memberi isyarat menyetujui permintaan ibunya. Ia bergegas menghampiri ayahnya yang tengah mengangkat perabotan dari dalam mobil pickup.
"Sini Pa, aku bantu bawain kuali sama piringnya." ucapku menawarkan bantuan, sambil menadahkan tangan siap membawa kuali dan piring.
"Wah pinter si gadis, ini tolong bawa ke dapur ya, terima kasih cantiknya papa." ada senyum tulus yang terukir setelah kalimat itu keluar dari mulut ayahku,
Nur Zahra Rayya. Perawakannya cukup lembut, dengan mata sipit seperti orang orang asia timur, membuat ayahku terlihat lebih muda dari ibuku. Padahal, jarak umur ayahku selisih 5 tahun dari ibuku.
Sambil berlari kecil, aku membawa kuali dan piring itu ke dapur, sesuai perintah ayahku. Sembari membantu ayahku mengangkat perabotan, batin ku benar-benar bertanya keras, apa keluarga kecil kami bisa bertahan hanya dengan 3 orang, aku tak tahu apa yang akan kuhadapi kedepannya.
• ||||| •
Jam menunjukkan pukul 06.00 pagi, cukup dengan 3x bunyi alarm membuat kamar yang tak begitu besar ini bergema membuatku terbangun dari tidur. Dengan sempoyongan aku berjalan ke kamar mandi, terasa badan yang masih kelelahan karena membantu sang ayah mengangkat perabotan rumah semalam.
Ah, piring pecah lagi. Habis perang gede kayanya semalam, bisa-bisa nya gue gatau, pulas amat tidur semalam. Batinku berbisik melihat serpihan piring kaca yang berserakan di lantai.
Aku lekas mengambil sapu, menyapu serpihan itu ke sudut ruangan, lalu melanjutkan langkah ke kamar mandi, untuk membersihkan badan yang terasa tak nyaman ini.