Pukul dua belas malam lewat.
Alih-alih ingin tertidur Jenna lebih ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya. Meski sekeras apa pun dia berusaha untuk menahannya, air mata itu jatuh berguguran tak beraturan. Sampai tangan tertanam infus milik kekasihnya itu dapat merasakan bahwa hujan duka sudah datang.
Cahaya tamaram hanya datang dari lampu tidur di sebelah nakas. Cukup untuk melihat presensi Jenna yang kacau. Secantik apa pun Jenna, Januar tidak pernah menyukai tangis Jenna, gadis kuat yang jarang menangis.
Rasanya tidak aneh kalau Jenna menangis. Orang yang paling dicintainya terbaring di rumah sakit, kesulitan bernapas, merasakan sakit yang tak terbatas."Jen ...?" Janu membuka pembicaraan. Mata sayu itu berusaha sepenuhnya untuk terbuka untuk sakadar menikmati betapa beruntungnya dia bisa pergi dengan romantis, digenggam tangannya oleh perempuan paling cantik di dunia.
"Ya?" tanya Jenna.
"Aku udah inget ... aku belum bayar uang kas." Jenna tidak tahu harus menanggapi bagaimana selain tersenyum dan menangis lebih deras kala Janu sudah melantur seperti ini. Fakta bahwa Januar miliknya akan segera kembali benar-benar ketakutan terbesar yang berdiri tegak di hadapannya.
Jenna menggenggam tangan Janu erat-erat karena telapak tangan itu mulai dingin. Benar-benar dingin sampai Jenna hampir tidak bisa merasakan tanda-tanda kehidupan di sana.
"Janu, liat aku!"
Manik mata Janu total mengarah ke Jenna Margaretha. Bibir yang terbungkus oleh masker oksigen itu tertarik simpul, di depannya benar-benar pertunjukan hebat sebelum kematiannya.
"Aku juga suka hujan sekarang." Janu merasa tubuhnya lebih hancur dibandingkan sakit bertahun-tahun yang dia alami. Napasnya juga terasa jauh lebih berat dibandingkan detik sebelumnya, ia harus benar-benar berusaha untuk dapat menarik napas.
"DOKTER!!" Jenna lantas berteriak lalu menekan tombol darurat secara brutal. Ulurlah waktu kematian Janu, meski itu hanya untuk tujuh menit ke depan. Cinta Jenna masih terlalu besar untuk kehilangan Janu dalam sekejap.
Demi apa pun menemani Janu yang hampir meregang nyawa setiap saat terasa lebih ringan dibandingkan hari ini. Biasanya gadis ceria itu akan tetap berpikir bahwa, semua orang akan mati, tapi tidak sekarang.
Janu akan mati, tapi tidak hari ini.
Janu mati hari ini.
Kesakitan Janu merogoh kewarasannya. Ia merasakan bahwa ia sudah tidak berhak bernapas sampai dadanya panas. Tersenggal sampai tak dapat merasakan apa pun di sekitar selain penyakitnya, bahkan Jenna. Ia tidak bisa mendengar Jenna padahal gadis itu berteriak sekuat tenaga.
Para medis melakukan hal-hal yang memungkinkan untuk memperpanjang hidupnya, tapi Janu terlalu sakit. Air matanya turun saat napas terakhirnya dapat ditarik.
Kata orang-orang benar. Ada tujuh menit terindah sebelum mati, dan versi Januar Prayuda semuanya tentang Jenna Margaretha.
***
Benarkah semua ini sudah berakhir?
Benarkah akhirnya Jenna tidak bersama Janu?
Ia kini duduk terperosok di dinding luar ruang rawat intensive. Dengan tangan yang gemetar, membuka ponselnya membuka akun Instagram Janu yang tidak diisi apa pun selain foto Jenna, atau foto mereka berdua. Hanya Jenna, menjadi satu-satunya untuk Janu itu menyenangkan.Rasanya tidak akan ada lagi lelaki yang bisa menggantikan Janu.
Benar-benar tidak akan ada yang bisa.
@janurawr
Tidak usah cepat dewasa, mulai besok aku yang akan belikan kamu ice cream.
Rupanya versi apa pun Januar tetap bucin total.
J for J
Kamu dewasa dulu hari ini.
***
REST IN PEACEJANUAR PRAYUDA
10 APRIL 2024, 00.49 WIB.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Minutes
Teen FictionSebelum mati akan ada rangkuman kejadian-kejadian paling manis, paling indah yang akan diputar. Menit pertama tentang Jenna, menit kedua tentang Jenna, menit ketiga dan seterusnya masih tentang Jenna.