Januari, 2017.
Tahun pertama masuk sekolah menengah atas. Semua terlihat antusias untuk membuka halaman pertama bab remaja mereka, anak-anak seusia terlihat berlalu lalang di lapangan sekolah yang sama.
Perhatian orang-orang mungkin akan tertuju pada Jenna, karena untuk ukuran anak Indonesia seharusnya tidak ada gadis berambut pirang. Berulang kali gadis itu harus menjelaskan bahwa ada darah kulit putih yang melatar belakangi warna rambutnya, mau sebanyak apa pun Jenna mencoba menutupinya saat ini dia sedang menyala di tengah-tengah anak SMA.
Gadis dengan rok abu-abu selutut itu melangkahkan kakinya lebih jauh ke dalam kawasan. Kelas sepuluh terletak paling ujung, paling jauh dari gerbang, untuk ukuran hari pertama dia sedikit kesal.
Bola basket menggelinding dan berhenti tepat di bawah kakinya. Jenna mengambil bola itu dan menatap ke depan, siapakah yang akan merasa kehilangan bola itu?
Di sanalah sosok Januar datang dengan tubuh tingginya, tersenyum seperti anak usia lima belas yang tidak punya beban apa-apa. Jenna terkagum, dia tampan dan seakan lebih menyala dibandingkan anak-anak lainnya. Januar Prayuda berdiri tepat di hadapannya sengaja menyodorkan tangannya untuk meminta bola, tapi Jenna justru memberikan tangannya.
"Jenna." Jenna tersenyum, terlena, jatuh cinta.
Januar tersenyum juga, konyol. Jenna pikir Janu sedang mencoba mengajaknya berkenalan.
"Janu." Pemuda itu tersenyum merasa bahwa gadis pirang ini lucu, sedetik kemudian dia memilih mengambil bola basketnya sendiri.
Jenna baru sadar, dia memukul keningnya sendiri. Sangat malu, lalu melangkahkan kembali kakinya menuju kelas.
Ia mencoba berpikir bahwa Janu akan melupakan wajahnya, mustahil dia satu-satunya gadis berambut pirang. Semuanya akan mengingat apa pun yang dia lakukan.***
Ternyata mereka satu kelas, Jenna duduk di bangku paling kiri depan dan Janu duduk di ujung kanan deretan nomor tiga. Mata Jenna tentu sangat bebas akses untuk memandang Janu sesuka hatinya.
Bagi Jenna saat itu, Janu bukan manusia biasa. Dia tampan dan lucu, dia sering tertawa dan bercanda. Meski mungkin bagi beberapa orang Janu itu berisik karena sering saling melempar bola basket bersama teman-temannya.
"Anak-anak, silakan isi angket ekskul kalian." Seorang guru berkacamata memberikan lembar-lembar angket. Sejenak Jenna melempar pandangnya ke Janu, bagaimana caranya melihat Janu lebih lama? Dengan mengambil ekstra kulikuler yang sama.
"Cheerleaders!" Pulpen bergambar Snoopy itu mencentang sebuah kolom. Menjadi penyemangat pemain basket itu pasti hal yang luar biasa.
***
Dari jendela kaca lantai dua Janu bisa melihat gadis berambut pirang itu sedang menggunakan seragam mini ala cheers sekolah mereka. Lapangan utama sekolah ini biasanya digunakan untuk berlatih, lapangan basket sedang dalam perbaikan.
Dia tersenyum lagi karena mengingat kejadian konyol kemarin pagi. Gadis berambut panjang itu tengah melihat ke kanan dan ke kiri, tampak mencari seseorang.
"Glen!! Anggota ekskul basket ini doang kah?" tanya Jenna pada teman sekelasnya.
Glen kemudian memandang teman-teman di sekitarnya, ini lebih dari cukup.
"Enggak, ini hari pertama dan semuanya ikut."
"Temen lo?" tanya Jenna panik, sialan dia salah prediksi.
"Janu? Dia ekstra musik."
***
Gadis cantik itu seperti seorang preman yang memalak. Semua orang dipaksa kelaparan dalam sehari untuk membayar kas yang menunggak.
"Janu gak pernah ditarik! Emang dia bayar?" tanya salah satu anak yang keberatan.
Janu merasa terpanggil, ia memperhatikan perdebatan di kelas.
Temannya itu mengangkat buku catatan kas, milik Janu tidak bolong sedikit pun. Tercentang sempurna padahal tidak ada yang pernah bersaksi bahwa Janu membayar kas.
"Janu kapan anjing bayar kas?"
"Ya kan udah gue talangin!" Ups! Jenna keceplosan.
Ia menutup wajahnya, semua orang berteriak cie cie dan wajah Jenna merah. Bagi Janu itu adalah cie cie terfavorit.***
***Satu menit pertama Janu, di sini Janu mengingat hal-hal kecil tentang pertemuan kamu Jenna. Aku harap kamu juga dapat menyaksikannya dalam versi yang tidak menyakitkan.
Aku ingin menceritakan betapa bahagianya aku mengenal kamu. Betapa beruntungnya aku menjadi Janu milik Jenna.
Hidup yang singkat ini terasa menyenangkan.
Sejak kamu pindah ke ekstra kulikuler musik, kita hanya berpisah delapan jam sehari. Kita mengukir masa-masa menyenangkan yang tidak bisa aku datangi kembali, karena aku sudah mati.Bisa dibilang orang tuaku dan kamu adalah dua belah pihak yang sama-sama menyayangiku. Namun, mereka membuat aku merasa dibatasi sementara kamu membuat batasanku lebih berarti.
-Januar Prayuda
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Minutes
Teen FictionSebelum mati akan ada rangkuman kejadian-kejadian paling manis, paling indah yang akan diputar. Menit pertama tentang Jenna, menit kedua tentang Jenna, menit ketiga dan seterusnya masih tentang Jenna.